1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Drama Penyanderaan di Manila Berakhir Tragis

24 Agustus 2010

Senin (23/08) drama penyanderaan di ibukota Filipina, Manila berakhir tragis. Pelaku ditembak mati polisi dan delapan sandera tewas.

https://p.dw.com/p/OuSB
Bus wisatawan yang penumpangnya disanderaFoto: AP

Bus yang antara lain mengangkut sejumlah wisatawan dari Hong Kong tersebut dibajak dan 25 penumpangnya disandera. Dengan bersenjatakan senapan otomatis berlaras panjang tipe M-16 pelaku pembajakan tersebut mengancam akan menembak sandera jika tuntutannya tidak dipenuhi. Ia menuntut agar kembali dipekerjakan sebagai polisi.

Mantan Inspektur Polisi

Pelaku penculikan yang bernama Rolando Mendoza dulunya memang inspektur polisi. Ia dipecat dari jabatannya karena melakukan sejumlah kesalahan besar Januari lalu. Demikian keterangan juru bicara kepolisian. Tetapi menurut Mendoza ia tidak melakukan kesalahan apapun dan ingin kembali bertugas.

Philippinen Ex-Polizist kapert Bus mit Touristen
Rolando Mendoza berdiri di dekat pintu bis ketika berunding dengan perantara tentang tuntutannyaFoto: AP

Selama penyanderaan ia menuntut agar pihak berwenang menyelidiki kasusnya. Awalnya, ketegangan mulai mengendor setelah dalam pembicaraan yang berlangsung dengan polisi Mendoza membebaskan sembian orang, di antaranya tiga anak.

Namun polisi menolak untuk mengabulkan tuntutan penyandera tersebut. Pria mantan polisi yang berusia 55 tahun itu kemudian menembak mati dua sandera, demikian keterangan polisi. Setelah situasi kembali menegang, polisi akhirnya memutuskan menyerbu bis tersebut.

Situasi Tidak Terkendali

Tetapi polisi membutuhkan waktu 11 jam untuk mengakhiri drama penyanderaan itu. Sejumlah upaya menyerbu bus dan melumpuhkan penyandera gagal. Gas air mata juga digunakan. Ketika terjadi kekacauan supir bis berhasil melarikan diri. Tembak-menembak juga terjadi, dan apa sebenarnya yang berlangsung selama itu masih belum diketahui.

Yang jelas pelaku penyanderaan ditembak mati polisi. Itu dinyatakan kolonel polisi Nelson Yabut hari Senin lalu (23/08) kepada para wartawan. Komisaris polisi urusan kriminalitas, Erwin Margarejo mengatakan, "Penggunaan senjata adalah kemungkinan terakhir, tetapi kami sebaik mungkin tidak mau menggunakan kekerasan."

Geiselnahme in Manila
Polisi memberikan tanda kepada seorang sandera yang baru dibebaskan.Foto: AP

Tetapi delapan penumpang bis juga tewas selama penyanderaan. Kepala administrasi Hong Kong Donald Tsang mengatakan, dari 15 wisatawan asal Hong Kong di bus itu, tujuh orang tewas dalam insiden. Dua orang menderita luka-luka berat dan enam lainnya juga harus dirawat di rumah sakit.

Tsang menyatakan kekecewaan akibat ketidakmampuan polisi untuk mengatasi situasi, dan menuntut pihak yang berwenang untuk memberikan keterangan selengkap mungkin tentang insiden berdarah itu. Menteri Dalam Negeri Filipina, Jesse Robredo mengatakan, pemerintah sangat menyesal dan sedih karena drama penyanderaan berakhir berdarah.

Kepolisian Dikecam

Hongkong Chefadministrator Donald Tsang
Kepala administrasi Hong Kong Donald TsangFoto: dpa

Kini polisi harus memberikan penjelasan, mengapa tidak berhasil mencegah jatuhnya korban tewas. Seorang perempuan asal Hong Kong yang berhasil selamat dari insiden itu mengatakan, polisi mengambil tindakan terlalu lambat dan tidak memperhitungkan bahaya yang harus dihadapi sandera. Sambil menangis ia mengatakan, suaminya dibunuh karena berusaha mencegah penyandera menewaskan penumpang lainnya.

Menurut laporan media, mantan polisi yang menjadi penyandera tersebut tahun 2008 lalu dituntut bersama empat polisi lainnya karena dituduh melakukan pemerasan, berdasarkan kesaksian seorang manajer hotel. Rolando Mendoza tidak menerima pemecatan dirinya. Demikian dikatakan saudara laki-lakinya dalam sebuah wawancara televisi. Ia hanya dianggap bersalah, tetapi tidak ada proses apapun, tidak ada pemeriksaan saksi, juga tidak ada tuntutan yang resmi tertulis. Media Filipina juga melaporkan, karena dipecat, Mendoza kehilangan pensiunnya.

Seydel/dw/afp/dpa/rtr/Marjory Linardy

Editor: Rizki Nugraha