1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

2 WNI Gugat Pemilik Kapal di San Fransisco Karena Perbudakan

23 September 2016

Abdul Fatah dan Sorihin mengajukan gugatan di pengadilan San Fransisco, AS, terhadap pemilik kapal ikan tuna. Mereka menyatakan dipekerjakan seperti budak sampai 20 jam sehari tanpa fasilitas dan upah memadai.

https://p.dw.com/p/1K74H
USA San Francisco Schiff Sea Queen II
Foto: picture-alliance/AP Photo/E. Risberg

Kedua warga Indonesia Abdul Fatah dan Sorihin mengaku direkrut tujuh tahun lalu untuk bekerja di atas sebuah kapal penangkap ikan tuna yang berbasis di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. Mereka harus bekerja keras tanpa upah setimpal dan tanpa fasilitas dan jaminan kesehatan. Mereka juga tidak diijinkan meninggalkan kapal selama bekerja, karena tidak memiliki visa resmi.

Hari Kamis (22/09) keduanya mengajukan gugatan dan tuntutan ganti rugi terhadap pemilik dan kapten kapal di pengadilan San Fransisco, Amerika Serikat (AS). Mereka menyatakan telah menjadi korban perdagangan manusia. Keduanya kini sudah mendapatkan visa sebagai korban human trafficking dan kini tinggal di San Fransisco

Abdul Fatah dan Sorihin mengajukan gugatan di Pengadilan Distrik AS di San Francisco terhadap pemilik kapal, Thoai Van Nguyen, atas perlakuan yang mereka hadapi di kapal Sea Queen II selama akhir tahun 2009 sampai awal 2010. Kapal penangkap ikan itu menjual hasil tangkapannya ke restoran dan toko-toko di AS.

Sorihin menceritakan kepada kantor berita AP, dia harus bekerja selama 20 jam tanpa alat pelindung dan perawatan medis. Mereka juga dipaksa tinggal di atas kapal dan diancam akan masuk penjara jika mencoba ke darat. Dia akhirnya memutuskan untuk melarikan diri.

"Saya harus melakukannya. Saya harus keluar. Jika tidak, saya pikir saya akan mati di sana," kata Sohirin yang lari dari kapal itu April 2010.

Sorihin mengatakan dia sebelumnya bekerja di sebuah kapal penangkap ikan Jepang di bawah kondisi yang lebih baik. Ketika mendengar tawaran bekerja di kapal AS, dia berpikir, "Ini akan lebih baik, karena ini Amerika.. Kenyataannya ternyata situasinya jauh lebih buruk."

Fatah dan Sorihin direkrut tahun 2009 dan bekerja di dua kapal berbeda di AS. Mereka mendapat kontrak untuk dua tahun dan dijanjikan upah mulai 300 sampai 350 dolar AS per bulan, dengan bonus sebesar 10 dolar per ton ikan.

Mereka berangkat bulan Agustus 2009 dari Jakarta. Setelah beberapa hari di laut, mereka dipindahkan ke kapal Sea Queen II yang beroperasi di Samudra Pasifik, padahal hal itu tidak disebutkan dalam perjanjian mereka.

Pemantauan penangkapan ikan ilegal di ruang observasi NASA, AS
Pemantauan penangkapan ikan ilegal di ruang observasi NASA, ASFoto: Pew Charitable Trusts

Dalam berkas gugatan disebutkan bahwa Nguyen dan anggota keluarganya sering memaki, menampar dan menendang pekerjanya. Walaupun ada kamar mandi di kapal, Nguyen sering memaksa kru untuk mandi di geladak dengan ember.

Ketika Sorihin minta untuk berhenti, Ngyuen mengatakan bahwa dia harus membayar 6.000 dolar AS untuk mengganti biaya yang sudah dikeluarkan Nguyen ketika merekrutnya.

Fatah dan Sorihin mengatakan mereka kemudian melarikan diri dari kapal tuna itu setelah bekerja delapan bulan. Mereka diam-diam mengambil paspor mereka yang disimpan Nguyen, ketika pemilik kapal dan keluarganya sedang pergi ke rumah mereka di San Jose.

Pengacara Fatah dan Sorihin mengatakan, kedua warga Indonesia itu lari dari kapal dan naik taksi ke San Jose, lalu mencari kenalan yang bisa membantu mereka.

Sorihin, 38 tahun, sekarang bekerja sebagai sopir Uber dan sebagai kasir di sebuah toko makanan. Mereka mengajukan gugatan agar orang lain lain tidak mengalami nasib yang sama.

"Saya berharap bahwa tidak ada kasus seperti saya," kata Sorihin. "Saya berharap para pelaut tidak perlu melalui pengalaman yang telah saya alami."

Menurut investigasi AP, banyak warga dari negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik yang bekerja secara ilegal dan dalam kondisi perbudakan di kapal-kapal penangkap ikan yang berbasis di Honolulu.

Para anak kapal dan nelayan itu hanya mendapat bayaran 70 sen per jam dan bekerja tanpa perlindungan dan pelayanan kesehatan. Mereka juga dilarang menginjakkan kaki di pantai karena tidak memiliki visa AS.

"Ada banyak laporan tentang perbudakan dan perdagangan manusia di industri perikanan," kata Agnieszka Fryszman, salah satu pengacara yang mengajukan gugatan. "Tapi kasus ini mengejutkan, karena seperti terjadi tepat di halaman belakang kami."

Sean Martin, presiden dari Hawaii Longline Association, yang mewakili kepentingan nelayan di kawasan itu mengatakan, organisasinya baru mengetahui tentang isu perbudakan dan masalah perdagangan manusia hanya melalui investigasi terbaru dari AP.

"Saat ini, kami sedang melakukan kajian internal tentang apa yang terjadi," katanya. "Kami tidak punya informasi khusus tentang perdagangan manusia yang terjadi di sini. Kami sedang berusaha untuk menyelidiki substansinya."

hp/vlz (ap, sfgate.com)