1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ebola Bisa Tulari Siapa Saja

21 Oktober 2014

Wabah Ebola melanda. Ribuan korban telah tewas di Afrika Barat. Di Eropa dan Amerika Serikat pasiennya bisa dihitung sebelah tangan, tapi histeria massal melanda. Sebuah sinisme, komentar Volker Wagener.

https://p.dw.com/p/1DYcG
Kampf gegen Ebola Symbolbild
Foto: D.Faget/AFP/Getty Images

Ebola nyaris sama dengan perubahan iklim. Serangan wabah Ebola bisa menimbulkan dampak kematian bagi ribuan orang di manapun di dunia. Dalam arti baik Eropa, Asia maupun Amerika bisa mengalami hal yang sama seperti di Afrika Barat.

Beberapa kasus penularan di Eropa telah memicu ketakutan berlebihan.Bahkan di Jerman reaksi nyaris berupa kepanikan. Bencana yang terjadi di negara yang amat jauh di Afrika atau di Asia, telah mengguncang saraf rakyat Jerman. Di satu sisi, rakyat Jerman ikut merasakan penderitaan, tapi di sisi lain dalam porsi ketakutan berlebihan terkait ancaman pada kenyamanan hidupnya.

Ini jelas berkaitan dengan sikap perfeksionis warga Jerman: ingin dapat menguasai segala hal dengan sempurnya. Ada mentalitas "ingin terlindungi asuransi dalam segala hal". Tapi, amat mustahil mengasuransikan diri terhadap kematian akibat Ebola.

Tapi ini bukan cuma fenomena Jerman. Juga Amerika Serikat merasa adanya ancaman besar. Negara ini kebingungan. Boleh jadi di semua apotek hingga ke pelosok tersedia serum anti gigitan ular. Tapi menghadapi wabah, birokrasi di negara itu tidak berdaya, atau minimal kebingungan.

Deutsche Welle Volker Wagener Deutschland Chefredaktion REGIONEN
Volker Wagener redaktur DW.Foto: DW

Walau dilontarkan peringatan bertubi-tubi dan informasi lengkap, pejabat pusat penanggulangan penyakit menular di Dallas, malahan mengirim pulang seorang warga Liberia yang menunjukkan gejala demam tinggi. Akibatnya, seorang perawat perempuan tertular.

Dalam kasus lainnya, seorang perawat yang terinfeksi Ebola diizinkan terbang bersama 132 penumpang lainnya dari Cleveland ke Dallas. Jelas hal ini bukan tindakan profesional dalam menangani wabah penyakit yang mematikan. Tidak mengherankan, jika lebih 25 persen warga Amerika ketakutan terhadap virus Ebola.

Bahkan kepaniikan ditambah lewat pesan di jejaring sosial. Lewat Twitter jutaan pesan dikirim: "Ebola menyerang di Amerika". Kedengarannya persis seperti pesan: Osama bin Laden hidup kembali.

Tentu saja ketakutan di negara industri maju itu memiliki alasan rasional. Prosedur amatiran, terkait penerbangan pasien terinfeksi Ebola ke Dallas, memicu ketakutan penularan secara eksponensial seperti kasus di Afrika Barat. Seluruh 132 penumpang berpotensi tertular. Atau jika hanya beberapa yang tertular, dalam masa inukbasi tiga minggu, penderita bisa menularkannya lagi kepada orang di sekitarnya: di kantor, di rumah atau di mana saja. Apakah sebuah bencana besar mengancam Amerika?

Sejauh itu, mungkin tidak aka terjadi. Senjata paling ampuh untuk melawan Ebola adalah pemahaman mengenai higiene serta penyakit infeksi, ditambah pakaian pelindung dan yang terutama lagi, logika yang sehat. Semuanya ada di negara maju. Persiapan juga matang. Tapi hal itu tidak banyak membantu, jika ketakutan bersifat irasional. Inilah paradoksnya.

Padahal, di negara makmur dan maju seperti Jerman, setiap tahunnya ribuan orang meninggal akibat penyakit flu biasa. Atau akibat penyakit gaya hidup, seperti serangan jantung, stroke atau kecanduan alkohol. Tapi semua itu tidak membuat rakyat takut, karena semua adalah efek dari hidup makmur dan sejahtera.

Tapi Ebola amat menakutkan. Karena datang dari Afrika. Sebuah benua yang dalam persepsi negara maju selalu terkait dengan wabah penyakit, bencana atau perang. Jadi tidak terlintas pikiran untuk membantu perang melawan wabah, misalnya dengan menyumbang bagi tugas bantuan di lokasi. Memelihara ketakutan dan menyebar kepanikan jauh lebih nyaman. Tapi menimbang apa yang saat ini diderita warga Afrika Barat, inilah sinisme yang memalukan.