1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Eddy Pratomo: Pemilu 2014 Penutup Era Reformasi

Carissa Paramita25 Desember 2013

Apa arti penting Pemilu Indonesia tahun 2014 bagi dunia, khususnya Jerman?

https://p.dw.com/p/1AKmW
Foto: DW/C.Paramita

Tahun 1998, puluhan ribu mahasiswa Indonesia turun ke jalan sebagai bentuk partisipasi aktif dalam berpolitik. Mereka mencetuskan dan mendorong dimulainya era reformasi.

16 tahun kemudian, Indonesia siap menjalani pemilihan umum keempat pasca runtuhnya Orde Baru serta pemilu kedua yang menggunakan sistem proporsional terbuka. Lagi-lagi warga Indonesia – di berbagai penjuru dunia – berkesempatan turun tangan menentukan masa depan negara dan tentunya nasib masing-masing. Hasil pemilu Indonesia juga turut menentukan posisi negeri di kancah internasional.

Di Jerman, wujud tanggung jawab dalam membawa perubahan yang diharapkan tidak mau disia-siakan oleh sekitar 400 warga Indonesia, dari total 2.858 orang yang tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) di Berlin, yang telah mengkonfirmasi akan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketua panitia pemilu 2014 di Berlin, Alavi Ali, menyatakan 300 orang lainnya telah memohon pengiriman surat suara lewat pos.

Menurut data kantor imigrasi Jerman tahun 2011, ada 12.620 warga Indonesia yang bermukim di Jerman – 7.243 diantaranya perempuan, dan 5.377 lelaki
Menurut data kantor imigrasi Jerman tahun 2011, ada 12.620 warga Indonesia yang bermukim di Jerman – 7.243 diantaranya perempuan, dan 5.377 lelakiFoto: Getty Images

Lebih lanjut mengenai Pemilu 2014 di Jerman, berikut wawancara Deutsche Welle dengan Eddy Pratomo.

DW: Apa arti penting Pemilu Indonesia tahun 2014 bagi dunia, khususnya Jerman?

Eddy Pratomo: Penting sekali karena kita ingin mempelihatkan satu proses demokrasi yang telah matang di Indonesia. Apalagi Pemilu 2014 ini tidak ada Presidenincumbent. Jadi ini Pemilu sebagai penutup era reformasi. Kita akan melihat pertarungannya benar-benarfair, jujur, adil, transparan danturn out-nya kalau bisa lebih banyak dari Pemilu sebelumnya. Yang tidak terdaftar kan ada yang masih bermasalah kan jumlahnya 10 juta sekian. Saya kira dari sebelumnya turn out-nya nanti lebih besar. Yang DPT sudah cukup banyak, tapi nanti kita akan lihat apakah yang golput-nya itu banyak atau nggak. Jadi kita akan lihat dan ini negara demokrasi terbesar di dunia ketiga ini kan memberikan satu contoh bagaimana proses demokrasi itu berjalan dengan damai di Indonesia.

Berbicara tentang demokrasi, bagaimana negara-negara Eropa, terutama Jerman, melihat demokrasi di Indonesia dalam konteks kegagalan Arab Spring? Apakah mereka lebih optimis dalam memandang Indonesia?

Saya kira jauh dengan Mesir ya.. Karena di Mesir kan agama merupakan bagian dari kekuatan. Sementara di Indonesia itu kan pluralisme-nya sangat tumbuh berkembang secara demokratis, dan pluralisme di Indonesia itu ragamnya banyak tapi semuanya itu temanya adalah damai dantolerance. Sementara di Arab Spring itu mereka banyak yang menggunakan agama sebagai salah satu tujuan dari politiknya. Kalau Indonesia kan agama sebagai ideologi, sebagai basis dari falsafah hidup. Pluralisme di Indonesia itu lebih menjamin tercapainya demokrasi yang adil dan beradab.

Tapi dalam beberapa tahun terakhir justru muncul sejumlah laporan di media Jerman mengenai berkembangnya radikalisme di Indonesia.

Itu kan pandangan dari barat yang selama ini memang tidak memperoleh informasi secara seimbang. Radikalisme itu di mana-mana ada, tidak hanya di Indonesia. Cuma karena di Indonesia adalah negara besar, dan negara yang baru saja memasuki wilayah demokrasi, sehingga menjadi sorotan. Itu kan bagaimana pemberitaan media sebenarnya. Kalau dilihat di mana-mana itu lebih parah lagi di negara lain. Kembali ke Arab Spring tadi itu ya, kalau di Indonesia itu kan demokrasinya sangat menjadi contoh dong untuk negara-negara Arab. Banyak pemimpin kita seperti Pak Habibie, Pak Hassan Wirajuda, Pak Jusuf Kalla diminta untuk bicara bagaimana sih proses demokrasi Indonesia bisa begitu damai, tidak seperti kita. Padahal dulunya dari rezim otoritarian Pak Harto. Karena memang Indonesia ditata demikian rapih dan Pemilu yang langsung itu ya baru di Indonesia, di negara berkembang.

Jadi menurut Bapak sudah cukup baik atau ada yang bisa dipelajari oleh politisi Indonesia dari tradisi politik di Jerman?

Saya kira selalu ada. Jerman sistem politiknya sudah established. Dan sistem demokrasi Jerman itu juga perlu juga menjadi salah satu rujukan bagi negara berkembang, termasuk Indonesia. Jadi tidak ada jeleknya kita untuk juga mencari rujukan-rujukan yang bagus. Yang bagus kita ambil, yang nggak bagus-nya tidak kita ambil. Tapi memang demokrasi di suatu negara itu memiliki roots yang berbeda. Karena Indonesia negara yang berkembang kemudian penduduknya banyak, sumber alamnya juga banyak, manusianya begitu plural, terdiri dari berbagai suku, etnis, jadi itu ada seninya gitu.. Tetapi tolerance. Nah sayangnya radikalisme yang muncul itu, walau tidak banyak, cuma itu yang mendapat sorotan media ya, karena negara besar yang sedang maju. The biggest economykan di ASEAN. Kalau kita di ASEAN the biggest economy, the strongest, the founding father, Jerman juga sama posisinya. Nah sekarang makanya kita membangun jembatan antara Jerman dengan Indonesia melalui comprehensive partnership.

Sampai akhir tahun 2013, persiapan untuk Pemilu 2014 sudah sampai di mana?

Sudah sangat siap, karena kita melakukan sosialisasi sudah tiga kali. Dan ini akan ada sosialisasi lagi yang keempat. Kita sudah datang ke kantong-kantong masyarakat Indonesia di beberapa wilayah di Jerman.

Animonya bagaimana Pak?

Animonya memang belum begitu banyak, cuma sekarang kita menggunakan juga social media, menggunakan website ya supaya mereka juga memiliki kesadaran dalam berdemokrasi. Jumlahnya tidak banyak, tapi ini kan bagian dari pelaksanaan suatu sistem demokrasi, mustinya harus ikut semua dong..

Eddy Pratomo menjabat duta besar Republik Indonesia untuk Jerman dengan periode jabatan Januari 2009 hingga Desember 2013. Tanggal 24 Desember 2013, mantan Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo dilantik oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai duta besar RI untuk Jerman.