1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Editorial: Politik Preman

Andy Budiman18 Maret 2013

Premanisme dekat dengan kehidupan politik di Indonesia. Sejak masa orde baru hingga sekarang, kekuatan-kekuatan politik memanfaatkan jasa preman. Inilah wajah gelap politik dan preman di negeri ini.

https://p.dw.com/p/17zT4
Foto: Fotolia/granata68

Jakarta, 8 Maret 2013: polisi terlibat baku tembak dengan kelompok preman yang dipimpin Hercules.

Peristiwa itu menarik, karena Hercules dikenal punya kedekatan dengan Prabowo Subianto dan menjadi pendukung calon presiden Gerindra itu dengan mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia Baru.

Sejarah preman di negeri ini memang dekat dengan politik.

Jakarta 2013 memang tak segelap “Gangs of New York”, yang menggambarkan masa ketika kota itu jatuh ke tangan preman pada pertengahan abad-19.

Tapi di Jakarta, premanisme dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Preman kasta bawah menguasai tempat parkir atau memalak pedagang kecil. Sementara para Godfather bermain di panggung lebih besar.

Yorrys Raweyai, adalah bekas preman dan tokoh Pemuda Pancasila yang kini menjadi anggota parlemen dari Golkar. Di Senayan, kata Yorrys, ada 30 anggota parlemen yang dulunya pengurus Pemuda Pancasila. Lainnya menjadi pejabat, mulai dari menteri hingga hakim konstitusi.

Premanisme adalah bagian dari sejarah informal.

Film “The Act of Killing” menampilkan pengakuan anggota Pemuda Pancasila yang “menawarkan tangan“ untuk menjagal orang-orang yang dituduh kiri pasca `65.

Sisa-sisa kekuatan rejim orde baru, mencoba mempertahankan kekuasaan dengan mengerahkan Pam Swakarsa untuk menghadapi gerakan mahasiswa `98.

Reformasi menciptakan demokratisasi, termasuk dalam kekuasaan dunia bawah tanah. Tak ada lagi wadah tunggal seperti era Pemuda Pancasila. Para preman bebas memilih tuan.

Mereka semakin menyebar: duduk manis di parlemen, hadir dalam pertemuan-pertemuan bisnis, atau berdiri di samping calon presiden.