1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ekstrimis dan Diktator Tindas Kebebasan Beragama

18 November 2010

Penindasan terhadap kebebasan beragama dalam berbagai bentuknya masih terjadi di berbagai pelosok. Mulai tekanan hingga, pemaksaan cara hidup, hingga serangan kekerasan brutal dan pembunuhan.

https://p.dw.com/p/QD2y
Sisa-sisa kerusuhan antar agama di Joss, Nigeria, awal 2010Foto: AP

Kebebasan beragama terancam oleh berbagai pemerintah represif, dan oleh berbagai kelompok ekstrim agama yang melancarkan kekerasan dan meletuskan bentrokan antar kaum. Demikian Freedom House, lembaga yang berada di bawah Departemen Luar Negeri AS, dalam laporan tahunan 2009-2010.

Saat peluncurannya, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton menandaskan, laporan ini bukanlah semata pandangan Merika Serikat, melainkan pandangan bangsa-bangsa dan warga masyarakat di berbagai penjuru dunia. 

"Selama beberapa tahun terakhir, kelompok teroris Al Qaida mengeluarkan seruan untuk melancarkan kekerasan terhadap kelompok-kelompüok agama lain dan aliran minoritas di Timur Tengah. Tempat-tempat ibadah dan penziarahan kaum Sufi, Shiah, Ahmadiyah, di Pakistan mendapat serangan berkali-kali. Juga Gereja Katolik Suriah di Bagdad beberapa waktu lalu. Juga terjadi banyak serangan dan penindasan yang dilakukan pemerintah Cina terhadap kaum Budha Tibet, gereja-gereja Kristen dan mesjid-mesjid kaum Muslim suku Uighur. Sementara sejumlah negara Eropa menerapkan pembatasan ketat terhadap ungkapan kepercayaan agama," demikian dikatakan Clinton.

Ada 198 negara yang dipantau, termasuk Indonesia, mencakup periode 1 Juli 2009 hingga 30 Juni 2010. Namun tidak termasuk Amerika Serikat sendiri. Sebabnya, kata Clinton, laporan keadaan mengenai ancaman kebebasan terhadap kebebasan keagamaan di AS telah dilakukan secara terpisah oleh Departemen Kehakiman, dan hasilnya bisa diakses dengan mudah.

Mengenai Indonesia, laporan ini antara lain mencatat pemberangusan terhadap Ahmadiyah yang melibatkan peran aktif Majelis Ulama, penutupan, pengekangan dan penyerangan terhadap HKBP serta berbagai kelompok lain. Juga berbagai diskriminasi terhadap kelompok minoritas dalam urusan adminstratif, seperti pencatatan perkawinan, akta kelahiran, KTP dan lain-lain.  

Namun Amerika Serikat juga mencatat berbagai kemajuan dan pencapaian penting. Michael Posner, asisten menteri luar negeri bidang demokrasi dan HAM menjelaskan, bahwa saat kunjungan di Indonesia, "Presiden Obama mengungkapkan mengenai toleransi keagamaan di negeri itu yang sangat kokoh dan merupakan teladan. Pemerintah Indonesia juga membentuk Dewan Antar Iman. Di Suriah dan Turki, Mufti besarnya menyerukan secara terbuka toleransi terhadap kaum Kristen dan Yahudi."

Ditambahkannya, perkembangan positif juga tampak di Spanyol, melalui penunjukkan jaksa khusus untuk mengusut kejahatan-kejahatan berbasis kebencian agama. Sementara di Brasil sebuah kelompok penentang intoleransi menerbitkan panduan memerangi rasisme, dan pemerintahnya juga membentuk lembaga khusus untuk melawan intoleransi keagamaan."

Laporan ini, kata Hillary Clinton, sama sekali tidak berarti menganggap kebebasan beragama atau tidak beragama di Amerika Serikat seakan sempurna dan contoh bagi seluruh dunia. Mereka, katanya, tidak berniat untuk berlagak sebagai hakim bagi negara-negara lain. Amerika Serikat, kata Hillary Clinton, sekadar ingin menyuarakan kebebasan beragama di seluruh dunia. Serta mendukung manusia-manusia pemberani, lelaki dan perempuan di berbagai penjuru dunia, yang teguh menjalankan keyakinan mereka di hadapan tekanan, permusuhan dan kekerasan.

Menurut Hillary Clinton, banyak kalangan berpendapat bahwa untuk melindungi kebebasan beragama dan tidak beragama, harus diberlakukan pelarangan terhadap hate speech atau pernyataan kebencian di depan umum terhadap agama atau kaum lain, selain pelarangan terhadap penistaan dan penodaan agama.

Namun Amerika Serikat berada dalam posisi lain. Amerika Serikat, kata Clinton, bergabung bersama seluruh dunia dalam mengutuk pernyataan kebencian, namun tidak mendukung dilarangnya pernyataan kebencian. "Karena kemerdekaan berpendapat dan kemerdekaan beragama juga muncul dari prinsip fundamental yang sama, bahwa manusia dan masyarakatnya diperkaya dan diperkuat oleh keberagaman gagasan."

Upaya untuk menekan atau memendam kebebasan kendati dengan niat untuk melindungi masyarakat, tegas Clinton, justru menimbulkan dampak sebaliknya. "Masyarakat yang mengembangkan kebebasan beragama dan kebebasan berpendapat terbukti lebih stabil, lebih kukuh, lebih damai dan lebih produktif.".

Hal itu sudah terbukti sepanjang sejarah umat manusia, tandas Clinton. "Dan sebagaimana dibuktikan dalam laporan ini, kita menyaksikannya di zaman sekarang."

Ging Ginanjar

Editor: Hendra Pasuhuk