1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Eropa Catat Musim Dingin Terpanas Kedua dalam Sejarah

Richard Connor
9 Maret 2023

Menurut studi, Eropa mengalami musim dingin terpanas kedua sepanjang sejarah akibat peningkatan perubahan iklim. Walau hal itu dirasa baik di tengah kekurangan energi, sektor pertanian, flora dan fauna justru terancam.

https://p.dw.com/p/4OQOK
Foto ilustrasi dua orang yang sedang haiking melewati kursi gantung yang terhenti di resor ski Le Semnoz, dekat Annecy, pada 27 Desember 2022, karena resor tersebut harus ditutup sementara karena kurangnya salju.
Foto: Jeff Pachioud/AFP

Para peneliti pada Rabu (08/03) mengungkap bahwa Eropa mencatat musim dingin terhangat kedua dalam sejarah.

Menurut data yang dikeluarkan oleh Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa itu,rata-rata suhu di Eropa sejak Desember 2022 hingga Februari 2023, 1,4 derajat celcius lebih panas di banding rata-rata tahun 1991-2020 untuk bumi belahan utara.

Angka ini membuat rekor musim dingin terhangat kedua di Eropa, dengan tahun 2019-2020 tercatat sebagai musim dingin yang jauh lebih hangat.

Bulan Februari mencatat "suhu tinggi di atas rata-rata pada kawasan Eropa timur dan sebagian Eropa timur laut," kata laporan Copernicus tersebut, seraya menambahkan bahwa suhu tinggi itu menyusul adanya gelombang panas musim dingin yang parah pada akhir Desember 2022 dan awal Januari 2023. Rekor temperatur musim dingin ini juga disebut melanda Prancis hingga Hungaria yang menyebabkan pusat wisata ski harus ditutup lantaran kekurangan salju.

Peneliti Copernicus sebelumnya menyebut musim panas tahun 2022 jadi yang terpanas sejak pencatatan mereka dimulai. Mereka menduga periode hangat Eropa dalam jangka panjang ini berkaitan dengan perubahan iklim ulah manusia.

 

Dampak buruk bagi tumbuhan dan hewan

Meskipun musim dingin 'hangat' yang tidak biasa ini menawarkan bantuan jangka pendek di tengah harga gas yang tinggi setelah Rusia memangkas pengiriman BBM ke Eropa, suhu tinggi yang dikaitkan dengan perubahan iklim ulah manusia ini justru menimbulkan risiko bagi satwa liar dan pertanian.

Pasalnya, lonjakan suhu membuat tanaman berkembang biak lebih awal, dan memperdaya hewan untuk menyelesaikan hibernasi lebih dini. Hal ini membuat mereka rentan untuk dibunuh oleh hawa dingin di akhir musim.

Tilly Collins, Wakil Direktur Pusat Kebijakan Lingkungan Imperial College London, seperti dikutip oleh kantor berita Reuters menyatakan bahwa tanaman dan hewan berjuang untuk memindahkan habitat guna mempertahankan suhu ideal akibat perubahan iklim.

"Untuk spesies dengan populasi kecil atau dengan wilayah penjelajahan terbatas, hal ini dapat memperbesar potensi mereka menuju kepunahan," kata Collins.

Peringatan di Antartika

Dalam laporan itu, Copernicus juga menyoroti soal kejadian iklim luar biasa lainnya, termasuk mencairnya es laut Antartika hingga level terendah di bulan Februari 2023 sejak pencatatan data satelit yang dimulai sekitar setengah abad silam.

"Data terbaru kami menunjukkan bahwa es laut Antartika mencapai tingkat terendah di catatan data satelit dalam 45 tahun. Kondisi es laut yang rendah ini kemungkinan punya implikasi penting terkait stabilitas es Antartika dan kenaikan permukaan laut di dunia."

"Tudung es di kutub merupakan indikator sensitif dari krisis iklim dan penting untuk memantau dengan cermat perubahan yang terjadi di kawasan itu," kata Deputi Direktur Copernicus Samantha Burgess.

(mh/gtp)