1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Eropa Jauhi Gaddafi

24 Agustus 2011

Berbagai reaksi atas kemenangan pemberontak Libya bermunculan. Perusahaan Eropa misalnya, menarik bisnis lamanya dengan Gaddafi, media yang menyoroti konflik Libya dikritik, begitu juga NATO.

https://p.dw.com/p/12N9N
Rebel fighters celebrate as they stand on top of the monument inside Moammar Gadhafi's compound in Bab Al-Aziziya in Tripoli, LIbya, Wednesday, Aug. 24, 2011. The rebels say they have now taken control of nearly all of Tripoli, but sporadic gunfire could still be heard Wednesday, and Gadhafi loyalists fired shells and assault rifles at fighters who had captured the Libyan leader's personal compound one day earlier. (Foto:Sergey Ponomarev/AP/dapd)
Pemberontak Libya berhasil merebut kawasan Bab al-AziziyaFoto: dapd

Mengenai hubungan bisnis antara perusahaan atau pemerintah Eropa dengan Libya harian konservatif Austria Die Presse menulis:

„Revolusi di Libya diikuti oleh negara-negara Eropa dengan perasaan campur aduk. Antara rasa puas yang menyenangkan dan tegang. Belum ada yang dapat memastikan siapa yang akan memerintah di Libya kelak. Bagaimana cara berpikirnya. Dan terutama, apa yang akan terjadi dengan bisnis-bisnis yang sudah terjalin sejak lama. Mungkinkah pemimpin Libya yang baru mengusir perusahaan-perusahan asing itu, yang menjalin persahabatan erat dengan rezim lama? Atau memberi imbalan kepada negara-negara yang mendukung pemberontak melwan militer Gaddafi dan keluarganya? Yang lebih menyolok lagi adalah, kini mereka di Eropa kebingungan sendiri, karena ingin melepaskan diri dari keterikatannya dengan rezim lama Libya. Padahal, selama ini mereka menganggap Gaddafi sebagai mitra yang cukup menguntungkan.“

Sementara harian liberal Der Standard menyoroti isu putra Muammar Gaddafi, Saif al-Islam, ditahan oleh pemberontak, namun secara mengejutkan muncul di sebuah hotel di Tripoli. Harian itu menulis:

„Hampir tidak ada bukti tentang apa yang sesungguhnya terjadi di Libya. Dan seringkali, seperti halnya dalam konflik Libya, orang-orang yang berada di sekitar tempat kejadian pun, tidak ada yang mengetahuinya dengan pasti. Untuk mengetahuinya, tidak perlu orang-orang ditahan di sebuah hotel seperti wartawan-wartawan itu di Tripoli. Melihat sebuah kejadian secara langsung merupakan suatu hal yang berbeda, dengan suatu peristiwa yang terjadi satu kilometer lebih jauh dan mungkin relevan untuk mendapatkan gambaran keseluruhan. Walaupun pihak pemberontak mendapat lebih banyak kepercayaan dari pihak manapun dan mereka sering disebut-sebut sebagai pihak yang „baik“, mereka juga menggunakan propaganda sebagai senjata untuk melawan Gaddafi dan pasukannya. Terutama di awal abad ke-21 ini, hal tersebut seharusnya disadari oleh semua pihak.“

Sedangkan harian Jerman Frankfurter Rundschau terkait konflik di Libya mengomentari peran NATO di negeri itu. Harian itu menulis:

„20 tahun pasca Perang Dingin dan sepuluh tahun setelah dimulainya misi di Afghanistan, yang mulai memudar tidak hanya kebersamaan di antara negara NATO saja, akan tetapi juga kekuatannya. Misi di Libya tidak hanya menjadi bukti melemahnya NATO, akan tetapi juga mencerminkan keruntuhan lembaga tersebut. Tanpa bantuan Jerman dan dukungan Amerika Serikat yang setengah hati itu, NATO harus bertempur di medan perang. Kemenangan yang diraih pemberontak, membuat kekurangan NATO semakin nampak.. Lembaga itu tidak memiliki konsep untuk perkembangan selanjutnya di Libya. Bagaimana mendukung perubahan demokratis di negeri itu? Kini saatnya untuk mencapai solusi politik. Kalau tidak, semua perjuangan ini tidak ada gunananya.“

Tema lain yang juga disoroti oleh media internasional adalah pengunduran perdana menteri Jepang Naoto Kan yang telah dinanti-nantikan. Harian Süddeutsche Zeitung menulis:

„Dalam hanya enam tahun, enam perdana menteri telah memerintah di Jepang. Tidak satupun di antara mereka yang memiliki dan menerapkan sebuah program yang berarti. Semuanya hanya menggeser-geserkan masalah Jepang tanpa ada penyelesaian. Jika kita melihat ke masa lalu, mereka hanya sekedar mengisi posisi perdana menteri. Namun, dengan terjadinya tsunami dan bencana atom di Fukushima, situasi di negeri Sakura itu semakin genting. Tetapi, nampaknya tidak ada harapan, bahwa di masa mendatang ada perdana menteri yang akan melakukan perubahan besar di Jepang. Dalam beberapa bulan ini Tokyo akan mulai berspekulasi terkait pengunduran Naoto Kan. Namun berbeda dengan yang lainnya, setidaknya Kan berani melakukan sesuatu yang lain.“

AN/HP/dpa/afpd