1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

EU braucht menschliche Flüchtlingspolitik

Bernd Riegert (as/ml)2 Maret 2015

Jumlah pengungsi yang ingin masuk Eropa tahun 2014 mencapai rekor tertinggi dalam sejarah. Eropa tidak boleh membentengi diri tapi sekaligus juga jangan membuka terlalu lebar perbatasannya. Komentar Bernd Riegert.

https://p.dw.com/p/1E9wi
Foto: Sakis Mitrolidis/AFP/Getty Images

Ratusan ribu pengungsi dari kawasan krisis seperti Suriah, Afghanistan, Pakistan atau Eritrea berbondong menujui Eropa untuk memohon suaka. Tidak semua berhasil mencapai tanah harapan itu. Ribuan tewas tenggelam di laut tengah atau ketika berusaha mencapai perbatasan darat Eropa.

Mereka yang berhasil masuk Eropa, mula-mula harus menerima status sebagai pengungsi ilegal, sebelum mendapat pengakuan sebagai pemohon suaka. Ada prosedur birokrasi untuk menetapkan siapa yang akan diterima sebagai pemohon suaka. Itulah situasi absurd, yang harus ditelan oleh para pengungsi.

Tapi masalahnya juga tidak sederhana. Banyak pengungsi ilegal itu, diorganisir oleh bandit-bandit penyelundup manusia. Para kriminal inilah yang meraup keuntungan milyaran Euro, dengan mengirimkan para pengungsi lewat kapal bobrok yang kelebihan muatan melintasi laut tengah. Sering laut tengah jadi kuburan orang-orang yang justru mencari kehidupan lebih baik di tanah seberang.

Deutsche Welle Bernd Riegert
Bernd Riegert redaktur DW

Sebetulnya para menteri dalam negeri anggota Uni Eropa sudah sejak lama menyadari, aturan pengungsi dan politik suaka harus diubah. Bahkan Paus Fransiskus sudah memperingatkan pada Parlemen Eropa, jangan sampai laut tengah selalu jadi kuburan para pengungsi. Paus memang benar. Tapi masalahnya, apa yang benar-benar dapat dilakukan untuk mencegahnya?

Organisasi pembela pengungsi menuntut, agar Eropa mengurangi ketebalan "bentengnya" dengan cara membuka lebar perbatasan bagi imigran. Tuntutan itu secara manusiawi bisa dimengerti. Tapi secara politik mustahil bisa diterapkan. Realitanya, warga Eropa juga tidak menunjukan sikap bersedia untuk menerima jutaan imigran tidak berkualifikasi semacam itu setiap tahunnya.

Bahkan kini, sejumlah negara anggota Uni Eropa menunjukkan sikap menentang kewajiban kuota jumlah pengungsi yang harus mereka tampung. Lebih gawat lagi, sekarang mulai muncul kelompok-kelompok anti warga asing, pengungsi dan pemohon suaka yang mendapat cukup banyak dukungan warga.

Uni Eropa juga menyadari, tahun 2015 jumlah pengungsi yang ingin masuk ke Eropa akan makin meningkat. Dipertanyakan, apakah Eropa juga akan menetapkan aturan kuota ketat imigran berdasar negara asal seperti yang sudah lama diterapkan Amerika Serikat? Juga belum jelas, bagaimana mengatur pembagian kuota pengungsi yang adil di 28 negara anggota Uni Eropa.

Semua pertanyaan terkait pengungsi ke Eropa amat kompleks dan sulit dijawab. Tapi Uni Eropa juga tidak bisa menunggu terlalu lama, hingga gambar-gambar pengungsi yang mati karam di Laut Tengah kembali jadi kepala berita. Paling tidak, di tahun 2015 sudah harus ada solusinya.

Sebab semua mengetahui, terus meluasnya krisis di Timur Tengah, Afrika dan mungkin juga di Eropa Timur, akan memicu tekanan pengungsi yang juga semakin meningkat ke Uni Eropa. Artinya, Uni Eropa harus bersiap, agar tetap memangani pengungsi secara manusiawi.