1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Evolusi Kebijakan Liga Arab Setahun Terakhir

21 Februari 2012

Sebutan seperti harimau tak bertaring melekat pada Liga Arab sejak berdiri tahun 1945. Namun revolusi Arab dalam setahun terakhir mengubah persepsi Liga Arab. Terutama menyangkut konflik Suriah.

https://p.dw.com/p/146dj
Pertemuan Liga Arab di Kairo
Pertemuan Liga Arab di KairoFoto: Reuters

Inisiatif Liga Arab terhadap Suriah hanya memiliki satu tujuan. Baik itu melalui Majelis Umum PBB, Dewan Keamanan PBB, atau dialog langsung dengan rezim di Damaskus, intinya mencapai kesepakatan damai atas konflik di Suriah. Demikian ditekankan Wakil Sekjen Liga Arab, Ahmed Benhelli.

"Pertama-tama, mengakhiri kekerasan. Baik oleh pemerintah maupun oposisi. Lalu pemerintahan transisi. Presiden menyerahkan jabatan ke wakilnya yang akan menggelar pemilihan umum. Kemudian pembuatan konstitusi baru dan reformasi lainnya," tambah Benhelli.

Yang berarti Liga Arab menolak proposal konstitusi baru di bawah Presiden Suriah Bashar al-Assad yang pekan depan menggelar referendum. Pemungutan suara dinilai kurang mewakili karena sebagian besar warga tidak dapat memilih di wilayah konflik. Liga Arab menilai referendum sebagai akal-akalan Assad untuk menenangkan dunia internasional.

"Jika tidak ada kesepakatan mengenai pemerintahan transisi di Suriah, dan tidak tercapai kompromi di lingkup oposisi, akan ada perang saudara. Terutama karena Suriah merupakan mozaik kaum minoritas. Ada Muslim, Kristen, Syiah, Sunni, Armenia, Druze dan Kurdi. Konflik bisa meluas ke kawasan. Libanon dan Irak. Warga Irak khawatir," jelas Benhelli.

Variasi kebijakan

Potensi perang regional lebih besar lagi kalau sampai ada intervensi internasional. Jadi Liga Arab bisa dibilang tak mampu berkutik. Tahun lalu Liga Arab dihujani kritik karena mendesak intervensi internasional di Libya. Sedangkan di Bahrain, Liga Arab tidak berbuat banyak. Bahkan tank-tank Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membantu rezim di Bahrain menekan pemberontakan.

"Bahrain adalah kasus istimewa. Mengapa? Pertama karena Bahrain selalu diklaim Iran sebagai sebuah provinsinya. Jadi Bahrain punya peran khusus. Kedua, karena ada Syiah dan Sunni di Bahrain. Jika kaum Syiah mau menggantikan keluarga kerajaan yang beraliran Sunni, akan memicu revolusi," tandas Benhelli.

Menlu Qatar Hamad bin Jasim (kanan) dan Sekjen Liga Arab Nabil al-Arabi memimpin rapat darurat mengenai Suriah
Menlu Qatar Hamad bin Jasim (kanan) dan Sekjen Liga Arab Nabil al-Arabi memimpin rapat darurat mengenai SuriahFoto: dapd

Sementara Liga Arab tidak takut menyulut revolusi di Libya. Di Suriah, mereka berhati-hati. Mengapa kebijakannya berbeda-beda? Secara diplomatis, Benhelli memilih istilah 'perbedaan posisi' ketimbang perbedaan luas negara, "Setiap negara Arab memiliki posisi khusus. Liga Arab terdiri atas posisi-posisi ini. Makanya reaksinya selalu berbeda-beda."

Perubahan konstelasi

Dulu negara-negara seperti Mesir, Suriah dan Irak dominan di Liga Arab. Kini Arab Saudi, Qatar dan Uni Emirat Arab yang mampu menguatkan posisi mereka. Seperti dalam menentukan kebijakan Liga Arab terhadap rezim di Damaskus. Benhelli yang berasal dari Aljazair berkomentar, "Kami mendorong negara-negara lain di Liga Arab untuk bertindak. Tapi kenyataannya negara-negara Teluk yang aktif. Gerakan demokrasi mendesak Liga Arab untuk bereaksi. Kekuatan Liga Arab tergantung para anggotanya. Jadi setiap perubahan pasti terlihat."

Liga Arab juga perlu berkembang sesuai dengan perubahan di dunia Arab. "Kini ada komite pengembangan yang merencanakan wujud Liga Arab di masa depan. Tanggal 29 Maret saat pertemuan di Bagdad, Sekjen Liga Arab akan menerangkan peran komite ini kepada para petinggi negara-negara Arab," ujar Benhelli.

Para perumus tugas komite mungkin saja turut mempertimbangkan sebuah mekanisme baru yang mampu mengurangi kontroversi kebijakan Liga Arab. Baik menyangkut Libya, Bahrain, ataupun Suriah.

Björn Blaschke/Carissa Paramita

Editor: Hendra Pasuhuk