1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

060511 Porträt Afghanistan 9/11

Fahim Dashty tidak gentar untuk mengemukakan pendapat kritisnya. Perjuangannya melawan Taliban serta bagi terciptanya kebebasan pers telah membuat namanya menjadi terkenal di Afghanistan.

https://p.dw.com/p/129ve
Foto: DW / M. Gerner

Bagi banyak warga Afghanistan, bukan 11 September, melainkan 9 September 2001 lah tanggal yang patut dikenang. Pada hari itu, teroris al Qaida melancarkan serangan terhadap pemimpin gerakan perlawanan Afghanistan, Ahmad Shah Massud.

Sebagai kepala strategi Aliansi Utara, Massud mempertahankan wilayah terakhir di negara itu yang tidak jatuh ke tangan Taliban. Serangan itu juga dialami langsung oleh Fahim Dashty, jurnalis yang tahun-tahun berikutnya menjadi perintis kebebasan pers di Afghanistan yang baru. "Saya duduk di samping orang yang membawa bom itu," kenang Fahim Dashty.

Hari Yang Tak Terlupakan

Fahim Dashty Afghanistan Portrait 9 11
Fahim Dashty di depan foto pahlawannya, Ahmad Shah MassudFoto: DW/M.Gerner

Talokan, wilayah utara Afghanistan. Hari itu, 9 September 2001. Dua hari sebelum serangan 11 September. Fahim Dashty berjongkok di lantai. Di sebelahnya ada dua wartawan, ternyata teroris yang menyamar, seperti terungkap beberapa detik kemudian. Pelaku meledakkan bom dengan menggunakan kamera foto. Sejumlah orang di sekitarnya tewas, termasuk Ahmad Shah Massud, salah satu pemimpin karismatik dari aliansi perlawanan Afghanistan terhadap Taliban dan pendudukan Rusia.

Fahim Dashty menderita banyak luka bakar dan harus dioperasi, namun ia selamat. Kematian panutannya, Ahmad Shah Massud, sulit ia terima.

"Sulit membicarakannya, tapi hari itu kami kehilangan semua yang kami punya."

Massud dan Dashty berasal dari lembah Panjshir, yang tersohor sebagai pusat perlawanan Afghanistan terhadap pendudukan Soviet tahun 80-an. Sejak ia duduk di SMA, Dashty ingin bergabung dalam perjuangan Massud, yang malah mengirim ia kembali ke Kabul. Ia diminta menyelesaikan sekolahnya lebih dulu.

Dan karena postur tubuhnya kurang cocok sebagai pejuang, setamat sekolah Dashty mengiringi perlawanan mujahidin sebagai reporter lapangan, memenuhi tugas dari Massud. "Perang, ledakan, orang-orang mati di depan mata saya. tapi waktu itu saya masih muda. Buat saya, adalah tugas saya untuk melaporkannya."

Berjuaang bagi Kebebasan Pers

Anschlag auf internationale Truppen in Kabul
Penarikan pasukan asing yang tergesa-gesa dipandang skeptis oleh DashtyFoto: picture-alliance / dpa

Tahun 2002, ketika koran partai Massud 'Kabul Weekly' diterbitkan kembali, setelah vakum pada era Taliban, Dashty mendapat peluang. Ia menjabat pemimpin redaksi dan membawahi selusin pegawai. Awalnya dana dari luar negeri mengalir deras bagi media independen baru di Afghanistan.

Dashty memakai setiap kesempatan untuk mengkritisi pemerintahan Karzai yang ia nilai tak demokratis. Bukannya tanpa akibat. Suatu hari, seorang pejabat penting mengatakan pada Dashty bahwa suatu saat mungkin saja ia mengalami kecelakaan mobil. Bahkan ada rencana untuk melenyapkan nyawanya. Dashty bergeming.

Lalu datanglah pemilu 2009. Ada jutaan suara yang dipalsukan. Kabul Weekly mengecam kecurangan dari kubu-kubu yang berbeda. Konsekuensinya, "Beberapa perusahaan yang mendukung kampanye pemilu Karzai berhenti memasang iklan di koran kami. Mereka mundur ketika menyadari betapa kritis pemberitaan kami. Kami kehilangan sebagian besar pemasukan," papar Fahum Dashty.

Hanya sampai Maret 2011 Dashty mampu mempertahankan hidup koran yang dipimpinnya.

Masa Depan Afghanistan Pasca Penarikan Pasukan Asing

Fahim Dashty
Fahim Dashty bersama anaknya, Yousuf, yang berusia dua tahunFoto: DW/Martin Gerner

Kini, 10 tahun setelah serangan Taliban yang menewaskan pemimpin gerakan perlawanan Aliansi Utara, Ahmad Shah Massud, Afghanistan masih berperang, kembali melawan Taliban. Jadwal penarikan tentara asing dari negeri itu, yang tidak lama lagi, ditanggapi Dashty dengan skeptis. ia menyebutnya tidak realistis.

Penarikan tentara yang terlalu dini akan berakibat mahal bagi Barat, kata Fahim Dashty. "Kami bisa kehilangan apa lagi sih? Beberapa sekolah, rumah sakit atau nyawa. Lebih dua juta nyawa hilang dalam 30 tahun terakhir. Tapi jika perang melawan terorisme ini tidak berakhir dengan keberhasilan, maka kalian besok harus menghadapinya di Berlin, di Paris, London, Madrid dan di Amerika Serikat."

Martin Gerner/Renata Permadi
Editor: Yuniman Farid