1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Film "Erwiana: Keadilan Bagi Semua" Diluncurkan di Hongkong

28 Maret 2016

Setahun lalu, majikan Erwiana Sulistyaningsih Hong Kong dipenjara karena menganiaya pembantu rumah tangganya. Sampai sekarang, situasi PRT migran belum banyak berubah.

https://p.dw.com/p/1IKoB
China Hongkong Prozess 6 Jahre Haft wegen Misshandlung einer Putzfrau Demonstration
Foto: Reuters/Tyrone Siu

Setelah kasusnya menjadi perhatian luas tahun 2014, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) Erwiana Sulistyaningsih menjadi aktivis yang mendesak perubahan kondisi kerja bagi lebih 300.000 pekerja rumah tangga migran di Hong Kong.

Majikan Erwiana, Law Wan-tung kemudian dijatuhi hukuman penjara enam tahun. Sejak itu, Erwiana menjadi simbol pembelaan hak-hak buruh migran perempuan. Banyak yang berharap, kasus Erwiana bisa membantu kondisi pekerja rumah tangga migran.

Hari Minggu (27/03) film dokumenter "Erwiana: Justice for All" (Erwiana: Keadilan Bagi Semua) diluncurkan di Hongkong. Film itu bercerita tentang situasi para pekerja rumah tangga migran di Hongkong. Erwiana dan banyak TKI lain juga hadir dalam pemutaran perdana film itu, yang mengisahkan tentang berbagai kesulitan yang mereka hadapi.

"Ada cerita tentang pelecehan, kecurangan dan eksploitasi oleh agen perekrutan, banyak sekali kasus, dan tidak hanya menyangkut perempuan," kata Erwiana dalam perbincangan dengan kantor berita AFP.

"Kami belum melihat banyak perubahan. Masih banyak kasus migran, yang tidak pernah mendapatkan keadilan."

Sebagian besar PRT migran di Hong Kong berasal dari Indonesia dan Filipina. Erwiana dan kawan-kawan aktivisnya mengatakan, baik negara asal pekerja maupun negara penerima harus menekan agen perekrutan swasta, yang sering memasang biaya sangat tinggi bagi para migran, sehingga mereka terjerumus dalam lilitan utang, bahkan sebelum mulai bekerja.

Sampai sekarang, paspor para pekerja migran masih sering disimpan oleh agen atau majikan, untuk mencegah para pekerja melapor atau melarikan diri.

Salah satu tuntutan utama para aktivis adalah penghapusan aturan kewajiban "hidup dalam" bagi PRT di Hong Kong. Aturan itu memaksa mereka untuk tinggal bersama majikan mereka. Sehingga hampir mustahil mereka bisa melapor atau pindah kerja, jika mendapat perlakuan kasar dari majikannya.

Para aktivis dan organisasi solidaritas sudah berulang kali menuntut perubahan aturan itu, bahkan sebelum kasus Erwiana. Tapi tuntutan mereka tidak didengar otoritas Hongkong.

China Hongkong Prozess 6 Jahre Haft wegen Misshandlung einer Putzfrau Demonstration
Erwiana Sulistyaningsih disambut para simpatisannya ketika tiba di pengadilan Hongkong, 27 Februari 2015Foto: Reuters/Tyrone Siu

Awal bulan ini, kelompok Justice Centre merilis laporan tentang situasi pekerja migran Hongkong. Menurut laporan itu, satu dari enam pekerja rumah tangga migran, atau sekitar 50.000 orang, berada dalam kondisi "kerja paksa".

Sebuah laporan Komite Komite Anti Penyiksaan PBB dari Desember 2015 mendesak pemerintah Hong Kong untuk mereformasi undang-undangnya, untuk melindungi korban kerja paksa dan perdagangan manusia.

"Saya sedih. Teringat pengalaman saya. Dan berbagai aksus serupa terus terjadi dan terjadi lagi," kata Erwiana.

China Hongkong Prozess 6 Jahre Haft wegen Misshandlung einer Putzfrau
Law Wan-tung, majikan Erwiana dijatuhi hukuman penjara 6 tahun oleh pengadilan Hongkong, Februari 2015Foto: Reuters/Tyrone Siu

Film dokumenter "Erwiana: Keadilan Bagi Semua" yang dirilis di Hongkong itu menceritakan kisah-kisah perempuan, yang meninggalkan negara asal mereka, karena terdorong kemiskinan dan untuk menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi keluarga dan anak-anak mereka.

Film dokumenter itu dibuat sebagian besar di Hongkong oleh pembuat film asal Amerika Serikat, Gabriel Ordaz. Tadinya film itu hanya akan ditunjukkan di lingkungan universitas-universitas Hongkong.

Tapi sekarang Gabriel Ordaz mengatakan, dia akan membawa film itu ikut dalam festival internasional, agar pesan yang dibawa film itu bisa dikenal luas.

hp/ap (afp)