1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Freeport Ingin Kontrak Hingga 2041

11 November 2013

Terletak di ketinggian pegunungan yang tertutup salju, pemandangan warga suku asli bercawat kontras dengan para penambang yang menggunakan mesin-mesin canggih mengekstrak emas dan bijih tembaga.

https://p.dw.com/p/1AFAr
Foto: DW/J. Hahn

Kompleks yang dijaga ketat itu adalah penambangan terbesar di negara yang dikenal kaya sumber daya dan kehadirannya selama lebih dari lima dekade telah menimbulkan kontroversi – karena tuduhan merusak lingkungan dan mengeksploitasi besar-besaran sambil memberi kontribusi terlalu kecil kepada masyarakat sekitar yang didera kemiskinan.

Lokasi penambangan Grasberg milik Freeport McMoRan dikenal berbahaya, dan beberapa waktu lalu sempat menjadi sorotan dunia setelah sebuah terowongan runtuh dan menewaskan 28 pekerja.

Perusahaan itu juga menghadapi pertarungan untuk memperpanjang kontrak dengan Indonesia, karena para politisi menuntut perusahaan-perusahaan tambang asing untuk pergi jika tidak bersedia membagi lebih banyak keuntungan bagi Indonesia.

Selama tiga dekade pemerintahan diktator Suharto, yang berakhir pada 1998, Freeport menjalani bisnis dengan realtif mudah dan dilimpahi banyak hak istimewa.

Tapi 15 tahun berlalu, Indonesia menjadi negara demokrasi dan mengalami booming ekonomi – dan perusahaan tambang termasuk diantara perusahaan asing – yang kini mendapat sorotan, dalam apa yang disebut para pengamat sebagai bangkitnya nasionalisme ekonomi.

“Ada perasaan bahwa Freeport telah mengambil banyak dan membagi (keuntungan) dengan buruk kepada masyarakat sekitar,” kata sebuah sumber yang dekat dengan pemerintah terkait negosiasi yang kini sedang berlangsung antara Freeport dengan pemerintah Indonesia untuk memperpanjang kontrak raksasa di bidang penambangan tersebut.

Bildergalerie Die Einheimischen Regenwald West Papua
Masyarakat Papua tidak menikmati hasil kekayaan alam mereka yang berlimpah.Foto: William Milliken/Survival

Pemerintah Indonesia menuntut perusahaan tambang asing untuk menyerahkan kepemilikan sepenuhnya atas aset-aset tambang mereka kepada negara, membayar pajak yang lebih tinggi atas ekspor mineral dan membangun pabrik peleburan di Indonesia ketimbang mengapalkannya ke luar negeri untuk diproses.

“Ini seperti saya telah menyewa rumah selama 20 tahun, tapi 10 tahun sesudah semuanya disepakati, sang pemilik datang dan bilang ‘ini tidak adil, saya harus menaikkan uang sewa,“ kata Tony Wenas dari Asosiasi Pertambangan Indonesia.

Kontribusi dianggap kecil

Freeport dengan penuh semangat membela operasinya di Indonesia, sambil memberi catatan bahwa mereka adalah pembayar pajak terbesar kepada negara.

Ruby Seba, wakil presiden Freeport Indonesia urusan teknis, mengatakan pihaknya berusaha untuk mendapat perpanjangan hingga 2041 karena mereka ingin membangun apa yang mereka katakan bakal menjadi penambangan terbesar dunia di Grasberg.

“Akan menjadi tidak adil jika kami menyisihkan uang untuk investasi dan tiba-tiba kontrak kami diputus,“ kata dia.

Bagi banyak orang, langkah pemerintah untuk mendapatkan lebih banyak dari perusahaan-perusahaan asing sudah terlambat, dengan Freeport dilihat sebagai sebuah simbol eksploitasi asing atas Indonesia.

”Setelah lebih dari 40 tahun keberadaan Freeport di Indonesia, suku-suku yang hidup di sekitar perusahaan masih berjalan-jalan di sekitar dengan telanjang,“ kata juru bicara Serikat Buruh Freeport Juli Parorrongan.

Kepala serikat buruh, Sudiro, menambahkan: “Ironis bahwa di wilayah yang menjadi jantung kesuksesan Freeport, hampir semua pekerjanya masih hidup dalam kondisi miskin dan tergantung dari para rentenir.“

Setelah bertahun-tahun kritik, perusahaan itu belakangan berusaha menjadi lebih terbuka. Freeport mengatakan telah berinvestasi dengan boros di Papua – membangun lapangan terbang, klinik kesehatan, dan perumahan di desa-desa yang selama ini diabaikan oleh pihak berwenang.

Namun demikian, banyak suku asli Papua yang masih hidup miskin terbelakang.

Selain itu, ada banyak kritik atas konsekuensi lingkungan di wilayah penambangan Grasberg, yang menghasilkan dalam jumlah besar limbah “tailing” – bahan sisa proses pemilahan bijih – yang membentang di area seluas 230 kilometer persegi.

Freeport berkeras bahwa tailing itu tidak berbahaya dan mereka sedang mengerjakan sebuah proyek untuk menanam tumbuhan, seperti tomat, di lokasi pembuangan untuk membuktikan klaim mereka.

Tantangan dari dalam

Kontroversi yang melingkupi kompleks itu semakin meningkat akibat serangkaian kasus pelik, mulai dari penembakan maut hingga aksi-aksi industrial.

Sejak 2009, 15 orang tewas terbunuh dalam serangkaian aksi penembakan misterius penembak jitu yang bersembunyi di pegunungan.

Bis-bis Freeport kini dilapisi baja dengan kaca anti peluru dan bepergian secara konvoi demi keamanan, saat membawa para pekerja mereka. Lokasi penambangan dijaga dengan ratusan polisi dan tentara penjaga.

Meski dalam sejumlah kasus para pemberontak berada di belakang penembakan – gerakan separatisme telah berkembang di Papua sejak mereka diserahkan kepada Indonesia tahun 1969 – tapi banyak orang percaya bahwa bisa jadi militer ingin membenarkan kehadiran mereka di Papua dan ingin memeras lebih banyak uang dari Freeport.

Benny Wenda West-Papua-Aktivist
Benny Wenda, gigih menggelar kampanye damai di seluruh dunia meminta dukungan bagi Papua merdeka.Foto: Leon Neal/AFP/Getty Images

Perusahaan itu juga menghadapi tantangan dari dalam. Ribuan pekerja kontrak menggelar pemogokan selama tiga bulan pada 2011 yang melumpuhkan produksi, dan mengklaim mereka dibayar dengan gaji terendah diantara perusahaan Freeport lainnya di dunia. Aksi itu berakhir ketika perusahaan sepakat untuk menaikkan upah.

Meski menghadapi sejumlah kesulitan, Freeport bertekad untuk tetap bertahan di Grasberg, yang merupakan mahkota permata di perusahaan raksasa pertambangan itu.

Selama kunjungan ke Jakarta, Richard Adkerson, kepala eksekutif Freeport, menggambarkan Grasberg sebagai “sebuah aset terbesar bagi negeri“.

“Tak ada pikiran untuk pergi dari sini. Tak ada pikiran sama sekali,“ tambah dia.

Meski menyuarakan kekhawatiran, Freeport telah memberi sinyal kesediaan untuk memenuhi tuntutan pemerintah Indonesia, dengan baru-baru ini menandatangani sebuah nota kesepahaman untuk membangun tempat pengolahan tembaga dan sepakat membayar pajak lebih tinggi atas ekspor material mereka ke luar negeri.

Meski kelihatan lebih keras, tapi pemerintah Indonesia kelihatannya tidak ingin bermain-main dengan pembayar pajak besar seperti Freeport.

Semua pengamat, hanya punya sedikit keraguan bahwa kontrak Freeport akan diperpanjang dan perusahaan itu akan bertahan.

“Dugaan saya adalah Freeport akan mendapatkan apa yang mereka inginkan, tapi dengan sejumlah syarat,” kata seorang sumber pemerintah, sambil menambahkan bahwa para politisi Indonesia akan mencoba mendapat uang dari kesepakatan, untuk mendanai kampanye mereka di Pemilihan Umum 2014.

ab/hp (afp,ap,rtr)