1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Front Jihad Islam Menuntut, Pesantren Waria Akhirnya Ditutup

26 Februari 2016

Penyebaran kebencian terhadap LGBT tak kunjung mereda. Penutupan Pesantren Waria di Yogyakarta akhirnya ditutup pemerintah setelah berkali-kali mendapat ancaman.

https://p.dw.com/p/1I2us
Global Media Forum KLICK! 2012 Gamelan
Foto: Nico Haryono

Pesantren Waria di Yogyakarta akhirnya ditutup oleh pemerintahan setempat dengan alasan tidak punya izin dan meresahkan warga setempat. Front Jihad Islam (FJI) sebelumnya menuntut penutupan pondok pesantren itu.

Keputusan penutupan pesantren waria Al Fatah ini dilakukan setelah pengelola pesantren, kelompok-kelompok yang mewakili warga, dan wakil Front Jihad Islam (FJI) melakukan pertemuan Rabu malam (24/02).

Pertemuan itu diikuti oleh ketua RT, lurah, hingga wakil Komandan Rayon Militer (Korem) setempat. Camat Banguntapan membuka pertemuan itu. Wakil Pondok Pesantren Al Fatah kemudian menjelaskan kegiatan pesantrennya.

Setelah itu, Front Jihad Islam memberi tanggapan dan menuntut pondok pesantren itu ditutup. LBH Yogyakarta, kuasa hukum pesantren, menilai penutupan itu sebagai bentuk penghakiman sendiri.

Indonesien Transgender Moschee
Suasana di mesjid waria, YogyakartaFoto: DW

Camat Banguntapan, Jati Bayubroto, kepada wartawan mengakui, penutupan dilakukan karena tidak punya izin. Tempat itu adalah rumah tinggal seorang warga, Shinta Ratri, yang memimpin pesantren tersebut.

Pertemuan berakhir dengan keputusan bahwa pondok pesantren Al Fatah harus ditutup untuk sementara. Daerah istimewa Yogyakarta yang dulu dikenal sebagai kota pelajar dan pertemuan berbagai budaya (gambar artikel) belakangan makin sering dilanda sengketa karena dogma agama.

Saling menghormati

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X meminta masyarakat Yogyakarta untuk tak terpancing dengan kontroversi LGBT. Menurut Sultan, semua pihak mestinya bisa saling menjaga dan menghormati.

Indonesien Transgender Moschee
Dua warga sedang berdoa di mesjid waria, YogyakartaFoto: DW

Baik yang pro maupun anti LGBT, mestinya bisa saling menjaga perasaan. Selain itu, diperlukan upaya membangun komunikasi di antara keduanya agar tak terjadi pertentangan yang memicu perpecahan, kata Sultan sebagaimana dikutip Harian Jogja.

Pembina Pondok Pesantren Al-Fatah, Kyai Muhaimin, mempertanyakan penutupan pesantren itu. Ia menjelaskan, kegiatan pesantren waria selama ini adalah mengaji dan belajar sholat seperti umat Islam lainnya. Ia menilai, penutupan sementara pesantren al Fathah berarti menghilangkan hak kaum waria untuk beribadah.

Komentar kebencian dari pejabat

Isu penentangan LGBT memang makin mencuat di Indonesia, setelah beberapa pejabat tinggi, termasuk seorang menteri, secara terbuka menyatakan penentangan terhadap kegiatan kelompok LGBT.

Mantan presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring hari Jumat (26/2) sempat membuat heboh media sosial. Lewat aluntwitternya @tifsembiring, Tifatul mengutip hadits dengan kata-kata: "Nabi Muhammad SAW berkata: Siapa yang mengerjakan perbuatan kaum Luth (homoseksual), maka bunuhlah. HR. Ahmad.

Kicauan Tifatul langsung menuai kritik dari banyak pihak yang ramai dibicarakan di Twitter dan Facebook. Tifatul dianggap menyebarkan hate speech atau ujaran kebencian dan ajakan pembunuhan.

Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika di era Susilo Bambang Yudhoyono itu (2009 - 2014) menolak kritik tersebut dan menerangkan, ia hanya mengambil sumber dari Hadits Nabi. Ia mengaku heran ada orang yang menentangnya.

hp/ap (bbcindonesia/rappler.com)