1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

"Gagal Move On" Gara-gara Pemilu?

9 Januari 2017

Ketika pemilu usai, banyak di antara pendukung yang tampaknya sulit beranjak dari rasa patah hati ketika 'jagoannya' kalah. Sepahit-pahitnya kekalahan, kenyataan harus bisa diterima dengan lapang dada. Opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2VV8Y
Indonesien Präsidentschaftswahlen 09.07.2014
Foto: Reuters

"Saya tidak bisa lagi menonton berita di televisi sekarang ini, saya tak kuat melihat tampang dia (Trump) setiap kali menyalakan televisi. Saya menangis berderai-derai memikirkan tentang berbagai undang-undang yang akan dijejalkan ke tenggorokan saya - semua aturan yang hanya mengangkat mereka yang kaya dan berkuasa, dan menyakiti kami yang masih sangat rentan,” ujar Kimberly, salah seorang pendukung Hillary Clinton di ruang komentar sebuah media online.

Gagal move on

Yang dirasakan pendukung Hillary Clinton sebenarnya tak terlalu asing bagi kita di Indonesia. Sejak awal pertarungan dua kandidat presiden Prabowo Subianto dan Joko Widodo di tahun 2014, kedua kubu pendukung menjadi sangat emosional. Ketika hasil penghitungan suara menunjukkan kemenangan Joko Widodo, pendukung Prabowo tak mau terima, apalagi Prabowo pun menunjukkan resistensi atas hasil penghitungan, bahkan ketika hasil pemungutan suara menunjukkan selisih lebih dari 8 juta untuk kemenangan Joko Widodo.

Penulis: Uly Siregar
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Karena sikap Prabowo dan fanatisme pendukungnya, muncul pula istilah ‘gagal move on', sebuah olok-olok yang terus-menerus didengungkan pendukung Presiden Jokowi ketika kritik dilontarkan pada presiden. Yang menyebalkan, istilah ‘gagal move on' ini tak hanya dilontarkan pada pihak pendukung Prabowo konsisten senewen karena jagoannya kalah, tapi juga pada pihak netral yang sungguh-sungguh mencermati kepemimpinan Presiden Jokowi dengan kritis dan adil bertahun setelah penghitungan suara usai.

Setiap kekalahan yang sifatnya kolektif bisa sama menyakitkannya dengan kekalahan personal. Jadi, kepedihan yang dirasakan pendukung Hillary Clinton bisa nyaris sama menyakitkan dengan kematian orang tercinta. Rasa ngilu mulai dirasakan pendukung Prabowo Subianto saat Joko Widodo menang di beragam survei, dan makin menggila ketika hasil pemungutan suara mengaminkannya.

Lewati tahapan patah hati

Elisabeth Kubler-Ross dalam bukunya On Death and Dying, pertama kali mengenalkan lima fase kesedihan karena kehilangan, yakni penyangkalan dan isolasi, kemarahan, tawar-menawar, depresi, dan penerimaan. Tak semua orang mengalami lima fase ini secara berurutan; ada yang sukses melalui setiap fase dan akhirnya sampai pada fase penerimaan, ada juga yang tak beranjak dari fase penyangkalan dan isolasi, serta kemarahan. Dalam konteks politik, fase-fase ini pun tampaknya berlaku. Sebagian pendukung Prabowo Subianto, ada yang sudah khatam hingga pada tahap penerimaan, tapi banyak juga yang masih tahap misuh-misuh di medsos dengan mencela setiap keputusan politik yang ditempuh Jokowi, baik yang bagus apalagi yang memang agak butut.

Saat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok mengisi jabatan yang ditinggal Joko Widodo, fase penyangkalan bahkan sampai sekonyol memunculkan gubernur tandingan. KH Fakhrurozy Ishaq yang menjadi gubernur versi Presidium Penyelamat Jakarta dengan gagah menyatakan kesiapannya memimpin DKI Jakarta, lengkap dengan ritual blusukan. Meskipun belakangan namanya tak lagi terdengar sebagai gubernur tandingan. Dalam istilah yang sekarang populer, yang dilakukan KH Fakhrurozy dan gerombolannya fase penyangkalan itu mungkin bisa disebut dengan ‘gagal move on' tadi.

Lalu, bagaimana sebaiknya pendukung pihak yang menang bersikap? Setelah larut dalam euforia kemenangan, setelah meme-meme bernuansa olok-olok terhadap pihak yang kalah dipasang dengan suka cita di dinding Facebook dan meraih ratusan komentar, ada baiknya mencoba berempati dengan mereka yang kalah. Pasalnya, dalam politik kekecewaan itu adalah keniscayaan. Kandidat yang dielu-elukan saat kampanye dan didukung mati-matian pada titik tertentu akan mengecewakan kita, entah dengan mengingkari janji-janji politik semasa kampanye, atau dengan terlalu banyak berkompromi. Belum lagi kekuasaan memiliki dinamika tinggi: pihak yang menang sangat mungkin pada periode berikutnya akan kalah.

Kekalahan memang berasa amat pahit, apalagi setelah merasakan kemenangan berkali-kali. Seperti yang saya alami. Dua kali mendukung Barack Obama saat pilpres Amerika Serikat, dua kali pula ia menang. Demikian juga saat pemilihan presiden di tanah air, saat saya dengan bangga memasang foto profil Facebook berhias angka 2 sebagai tanda dukungan pada Jokowi dan Jusuf Kalla. Apalagi kemenangan itu ditambah paket lengkap Ahok menjadi gubernur DKI Jakarta, menggantikan Jokowi yang naik menjadi presiden. Saat Hillary Clinton kalah dari Donald Trump, barulah saya mencicipi kekalahan yang menyesakkan. Namun pada saat yang bersamaan, muncul empati pada mereka yang kalah: pendukung militan Prabowo Subianto. Hingga tak sadar saya pun berucap, "Begini toh rasanya jadi pendukung Prabowo saat kalah lawan Jokowi. Duh, sakitnya. Jangan-jangan nanti saya juga terkena sindrom ‘gagal move on'... "  Pemilu dan pilkada di Indonesia akan selalu datang kembali. Bagi para pendukung salah satu kandidat dalam pemilu akan lewati tahapan seperti yang diungkap Kubler-Ross—ketika jagoannya kalah. Namun harus segera bangkit dari ‘gagal move on‘ untuk kepentingan bersama.

Penulis:

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.