1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gaji Perempuan Jerman 23 Persen Lebih Sedikit Dari Pria

19 Desember 2009

Jerman berada di peringkat terakhir dalam hal perbedaan gaji antara perempuan dan laki-laki diantara negara-negara anggota Uni Eropa dan Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan.

https://p.dw.com/p/L8xg
Foto: picture alliance/chromorange

Dalam 13 tahun terakhir, hanya terjadi perbaikan sebesar 1 persen dalam hal perbedaan gaji perempuan dan laki-laki di Jerman. Masalah perbedaan ini bukan lah kemauan para warga Jerman. Berdasarkan jajak pendapat yang dilakukan Yayasan Hans Böckler, 90 persen berpendapat diskriminasi gender dalam hal gaji tidak lagi sesuai dalam masyarakat yang modern. Namun, tetap saja perempuan dan laki-laki tidak memperoleh gaji sama untuk pekerjaan yang sama dari awal dimulainya kontrak kerja. Perempuan yang baru mulai bekerja, rata-rata memperoleh gaji 18 persen lebih sedikit. Semakin besar perusahaan yang mempekerjakan orang-orang muda, semakin besar penghasilan pegawai laki-laki. Komisi Eropa telah memerintahkan ke 27 negara anggotanya untuk setidaknya memperkecil jarak perbedaan penghasilan hingga 2010. Jerman telah gagal. Ini juga diakui Eva Maria Welskop-Deffa, pimpinan divisi persamaan hak di kementrian urusan keluarga.

“Kami akan meneliti semua hal yang menyebabkan adanya perbedaan gaji dan kami akan memperbaikinya. Salah satu penyebab utama di Jerman adalah, perempuan lebih lama dan lebih sering berhenti dari pekerjaannya atau mengurangi jam kerjanya. Karena itu kami juga lah kami memulai peraturan tentang masa cuti bagi kedua orang tua setelah kelahiran anak, atau program yang membantu para perempuan untuk kembali bekerja. Selain itu kami juga melihat permasalahannya ada di perusahaan-perusahaan. Kami mencoba berbicara dengan pihak perhimpunan pekerja, pemberi kerja dan juga organisasi-organisasi perempuan. Kami berhasil memperoleh perhatian mereka dan tujuan kami tahun 2020 akan tercapai pengurangan perbedaan gaji hingga menjadi 10 persen. Saya akan mengusahakannya.”

Ini berarti dalam 10 tahun perbedaan pendapatan antara perempuan dan laki-laki hanya tinggal 10 persen saja. Masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan hingga itu tercapai. Negara tetangga Swiss telah mencontohkannya. Pertengahan tahun 90an, negara ini menetapkan, bahwa proyek pemerintah hanya akan diserahkan kepada perusahaan yang menerapkan persamaan gaji pada pegawainya. Langkah ini cukup ampuh, tapi tidak maksimal. Saat itu diragukan apakah perusahaan tersebut memberikan informasi yang sebenarnya. Sekarang situasinya sudah sama sekali berbeda. Silvia Strub dari kantor penelitian bagi pekerjaan dan sosial politik di kota Bern, Swiss menjelaskan :

“Dalam undang-undang tertera bahwa negara berhak untuk memeriksanya dan sanksi juga mungkin dijatuhkan, jika peraturan tidak dipatuhi. Akhir tahun 90an, divisi persamaan hak dan divisi kementrian keuangan menugaskan kantor penelitian kami untuk mengembangkan semacam instrumen pengawas. Kemungkinan untuk memeriksa dan mengawasi ini dimungkinkan semenjak tahun 2004. Dan pemeriksaan pertama dilakukan tahun 2006.“

Walau pun undang-undang ini hanya berlaku bagi perusahaan milik negara, efek positifnya tercermin pada persamaan gaji di seluruh Swiss, termasuk di perusahaan-perusahaan swasta. Walau pun demikian, saat ini pegawai laki-laki di Swiss masih memiliki pendapatan 19 persen lebih besar dari pegawai perempuan. Silvia Strub optimis bahwa kesenjangan ini akan terus mengecil.

Provinsi Quebec di Kanada dianggap sukses dalam menangani diskriminasi gaji dengan menerapkan undang-undang persamaan pendapatan. Setelah perhimpunan pekerja dan organisasi perempuan di Quebec bekerja sama di tahun 90an dengan memberikan tekanan pada pemerintah, kementrian tenaga kerja kemudian menetapkan undang-undang yang berlaku bagi sektor umum dan swasta. Eric Charest dari Universitas Quebec meneliti efek dari undang-undang tersebut.

„Setelah ditetapkannya undang-undang persamaan pendapatan, setiap pemberi kerja harus bisa membuktikan bahwa perempuan tidak digaji lebih buruk dari kaum laki-laki. Dan juga bahwa pekerjaan yang didominasi perempuan tidak dibayar lebih sedikit dibandingkan pekerjaan yang biasa dilakukan oleh laki-laki. Pemberi kerja harus memberikan keterangan tentang setiap pekerjaan yang dilakukan oleh pegawainya. Kemudian dilakukan analisa apakah gaji yang mereka berikan pada pegawainya sesuai atau tidak. Jika hasilnya adalah gaji yang diberikan tidaklah sesuai karena perempuan yang mengerjakannya, maka gaji tersebut harus dinaikkan. Para pemberi kerja tidak diperbolehkan untuk mengurangi gaji pegawai lak-laki. Sehingga persamaan hanya tercapai dengan menaikkan gaji pegawai perempuan.“

Undang-undang tersebut mewajibkan semua perusahaan yang memiliki lebih dari 10 pegawai untuk memeriksa kembali apakah mereka memberikan gaji yang sama bagi pegawai yang melakukan pekerjaan yang sama. Eric Charest mengatakan, hanya ada beberapa kasus yang tidak harus melakukannya. Gaji dari para pemilik perusahaan dan dewan pengurus misalnya tidak harus dievaluasi. Apa yang dilakukan di Quebec dianggap sebagai cara yang paling maju dan paling membuahkan hasil dalam memerangi diskriminasi gaji. Charest kembali menekankan bahwa keberhasilan tersebut berkat transparansi setiap laporan yang diserahkan oleh masing-masing perusahaan. Kini Quebec bisa membanggakan hasil dari penerapan undang-undang itu. Di perusahaan-perusahaan besar misalnya, perbedaan antara gaji perempuan dan laki-laki berkurang menjadi 5 persen. Gaji dalam pekerjaan yang biasa dilakukan oleh perempuan, seperti sekretaris dan perawat juga meningkat 10 persen. Dan luar biasanya lagi, walau pun undang-undang ini hanya ditetapkan di provinsi Ontario dan Quebec, hampir di seluruh negara bagian Kanada, gaji perempuan turut meningkat.

Kembali ke permasalahan yang tengah dihadapi Jerman. Setelah menyimak apa yang terjadi di Swiss dan Kanada bisa ditarik kesimpulan masalah persamaan hak dalam pendapatan perempuan yang bekerja ada dimana-mana. Solusi yang dicoba pun berbeda-beda. Swiss telah memperbaiki kondisinya, namun hasilnya belum maksimal. Kanada lah yang mungkin bisa dijadikan percontohan negara-negara yang masih berjuang untuk persamaan tersebut, termasuk Jerman. Tetapi Sibylle Raasch profesor hukum dari Universitas Hamburg berpendapat, Jerman masih membutuhkan waktu yang sangat lama sebelum mencapai keberhasilan yang telah diraih Kanada. Karena perempuan di Jerman yang menuntut persamaan pendapatan akan terbentur pada undang-undang yang saat ini telah ada.

„Selama ini kita hanya memiliki undang-undang persamaan hak secara keseluruhan. Artinya, kita hanya memiliki tuntutan masing-masing individu dan ini hanya berfungsi dalam hal pendapatan yang kasusnya dianggap kasus besar. Dalam kasus-kasus lain, ini tidak berfungsi. Hingga tuntutan dianggap di mata hukum, harus menunggu waktu yang lama dan kadang harus diperjuangkan hingga ke pengadilan tertinggi bagi pekerjaan. Ini hanya bisa dilakukan oleh sedikit perempuan dan ini juga kadang tidak ingin mereka lakukan. Karena itu menurut saya, landasan hukum yang ada tidak cukup."

Persamaan internasional menunjukkan, bahwa ada dua langkah yang bisa dilakukan untuk memperjuangkan perolehan pendapatan yang sama bagi pekerjaan yang sama. Yaitu, tradisi dalam masyarakat yang memang telah mengakui persamaan gender, seperti di Swedia misalnya. Atau, negara membantu dengan undang-undang yang terbukti membuahkan hasil - seperti di Swiss. Di Jerman tidak ada tradisi seperti di Swedia dan tidak ada landasan hukum yang nyata. Sepertinya untuk beberapa tahun ke depan, dalam hal diskriminasi pendapatan, Jerman masih akan terus menempati posisi buncit.

Henriette Wrege/Vidi Legowo-Zipperer

Editor: Hendra Pasuhuk