1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ganti Rugi bagi Korban Uji Coba Nuklir

12 Agustus 2011

Antara tahun 1960 dan 1996 Perancis adakan 210 percobaan nuklir. Dalam uji coba itu 150.000 orang, baik mliter maupun warga sipil, ikut serta. Dari sekitar 5.000 yang masih hidup, 35% di antaranya menderita kanker.

https://p.dw.com/p/12FMK
Symbolbild Frankreich Flagge mit Atom Symbol Copyright: AP Graphics/DW Fotomontage
Gambar simbol. Bendera Perancis dengan simbol nuklirFoto: AP Graphics/DW Fotomontage

Juni 2010 sebuah undang-undang menyangkut ganti rugi bagi korban uji coba nuklir disahkan. Untuk itu dua organisasi yang beranggotakan korban percobaan nuklir harus berjuang bertahun-tahun. Dengan undang-undang itu mantan Menteri Pertahanan Hervé Morin mengakhiri polemik menyangkut korban senjata atom yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Ia menjanjikan ganti rugi dalam jumlah besar, tetapi neraca selama ini menunjukkan bahwa sebagian besar korban percobaan nuklir tidak mendapat dukungan apapun.

Pemberitahuan Bersifat Simbolis

Pemberitahuan pertama tentang ganti rugi bagi korban percobaan nuklir dikirim Juni 2011 lalu, setahun setelah undang-undang disahkan. Pemberitahuan itu dikirim komisi yang didirikan pemerintah kepada seseorang yang dulunya ikut wajib militer, yang sejak bertahun-tahun menderita kanker kulit. Jumlah ganti rugi beberapa ribu Euro. Keputusan ini memberi kesan simbolis. Pria yang tidak ingin disebut namanya itu, sebagai tentara muda ada di lokasi ketika Perancis meledakkan bom atom di gurun pasir Sahara tahun 1960.

A man carries a peace flag during a demonstration where thousands of Tahitians took to the streets of Papeete Saturday August 26, 1995 in a church-organized mass protest joined by political opposition parties over French nuclear testing in the South Pacific. The protests took place as more boats arrived in the French Polynesian capital on their way to join the protest flotilla at Mururoa Atoll.(AP Photo/Francois Mori)
Seorang pria mengacungkan bendera lambang perdamaian ketika ribuan warga Tahiti berdemonstrasi menentang percobaan atom di Polinesia (26/08/1995)Foto: AP

Ia dulu dipanggil untuk mengamati situasi di fron terdepan, beberapa kilometer dari lokasi ledakan. Ia bercerita, ketika itu kami memakai baju pelindung berwarna putih, yang terbuat dari kain layar tipis. Kami juga mengenakan sarung tangan dan masker anti gas, yang berasal dari jaman perang dunia kedua.

Tuntutan Ganti Rugi Ditolak

Setelah pemberitahuan pertama ini, 11 berikutnya dikirimkan. Tetapi komisi menolak tuntutan ganti rugi di semua kasus. Sekarang, 500 orang yang mengajukan tuntutan khawatir akan ditolak juga. Jean-Patrick Gille juga terkejut ketika mendengar neraca pertama pelaksanaan undang-undang ganti rugi. Dalam sebuah konferensi pers, anggota parlemen dari partai sosialis itu melontarkan kritik dengan kata-kata tajam.

"Undang-undang itu bisa sebenarnya dibuat untuk anda, untuk media. Supaya menteri pertahanan, yang menulis teksnya dapat berkata, 'Coba anda lihat, saya berani menangani masalah itu.' Tapi sejak awal kita sudah bisa melihat, bahwa pelaksanaannya terseok-seok. Sampai sekarang, dengan undang-undang itu kita hanya memperoleh satu hal, yaitu masyarakat umum setuju dengan prinsip, bahwa korban harus mendapat ganti rugi. Tetapi sistem ganti rugi tidak berjalan.“

Pemeriksaan Tidak Berjalan

Pengacara Jean-Paul Teissonnière, yang mewakili banyak korban kini akan mengajukan semua tuduhan yang sudah ditolak ke pengadilan, untuk menuntut ganti rugi. Sebenarnya undang-undang menetapkan, kasus-kasus kontroversial harus diperiksa komisi kedua. Tetapi itu tidak berfungsi, sudah setahun. Organisasi AVEN kini akan mengurus sendiri masalah itu, demikian dikatakan pemimpinnya Jean-Luc Sans.

Ia mengatakan, "Kami mendirikan sendiri kantor pengamatan bagi dampak uji coba nuklir. Kantor itu akan memulai studi epidemiologi dan sosiologi. Selain mereka yang ikut dalam percobaan, kondisi kesehatan warga yang tinggal di dekat lokasi, baik di Aljazair maupun Polinesia, juga akan diperiksa. Yang dulu tinggal di sana dan yang sampai sekarang masih di sana." Di Paris berbagai inisiatif politik bermunculan dari berbagai partai, untuk mereformasi undang-undang dan memperluas jangkauannya.

FILE -- A 1971 file photo of a nuclear bomb detonated at the Mururoa atoll, French POlynesia. President Jacques Chirac announced Tuesday June 13, 1995 that France would resume nuclear testing to verify the safety of existing weapons while advancing toward simulation technology. Eight nuclear tests are scheduled between September and May before France signs a treaty banning all tests. (AP Photo)
Ledakan nuklir di atol Mururoa tahun 1971Foto: AP

UU Juga Harus Cakup Lingkungan

Sementara itu politisi Polinesia yang termasuk Perancis, Richard Tuheiava mengusahakan proyek undang-undang baru, di mana pemerintah Perancis juga harus memberikan ganti rugi bagi kerusakan alam yang diakibatkan uji coba nuklir. Karena itu tidak tercakup dalam undang-undang soal ganti rugi. Secara umum, kerangka undang-undang juga dibuat sangat sempit. Baik dari segi waktu, ruang, maupun penyakit akibat radiasi nuklir, yang diakui komisi pemerintah Perancis.

Jadi bagi bekas pekerja basis uji coba nuklir yang berasal dari Aljazair dan Polinesia, tidak ada jalan untuk memperoleh dokumen, yang diperlukan untuk mengajukan tuntutan. Apalagi anggota keluarga mereka atau warga di daerah sekitar lokasi.

Setengah tahun lalu, seorang pejabat tinggi militer Perancis mengadakan kunjungan ke Polinesia yang termasuk wilayah Perancis. Ketika itu pejabat tersebut membenarkan bahwa nuklir merusak atol dan mungkin dapat menyebabkan tsunami. Sejak itu warga daerah kepulauan tersebut marah. Pemerintah lokal daerah tersebut, yang menjauh dari pemerintah Perancis, menuntut penjelasan mengenai semua dampak percobaan atom.

Menuntut bagi Tanah Air

Algerian radiation victims (R to L) Aba Hania Chikh Mohamed, Benanes Baghour, Abdel Kader and Dahkat Hocine pose for a photograph as they stand near the site of French nuclear bombs test of Tena Fila mountain at Ain Ekra in Tamanrasset, some 2000 km South of Algiers, Algeria, 25 February 2010. France marked the 50 years anniversary of its first nuclear explosion on 13 February 1960, in the North African desert Sahara. As Algeria was a French colony during the explosion, hundreds of soldiers and civilians have been exposed to radiation. According to French newspaper Le Parisien, a confidential report confirms that the French Army deliberately exposed its recruits and civilians to radiation, with the aim to study the effects of the bomb on humans. The French Minister of Defence Herve Morin denied knowing about the report and claimed that the radiation levels were not high. In December 2009, a new law was passed by the French parliament to compensate army veterans among which many claim they have developped cancer and related diseases following a radiation exposure, but the amount of compensations are still a matter of debate. EPA/MOHAMED MESSARA
Korban radiasi di Aljazair. Dari kanan ke kiri: Aba Hania Chikh Mohamed, Benanes Baghour, Abdel Kader and Dahkat Hocine, berpose di dekat lokasi uji coba nuklir (25/02/2010).Foto: picture-alliance/dpa

Richard Tuheiava, menghadap ke Senat di Paris, dan berbicara bagi tanah airnya, Polinesia. Ia menyatakan, proyek undang-undangnya sesuai dengan hati nurani penduduk daerah itu. “Teks rancangan undang-undang itu dibuat sesuai pembicaraan dengan persatuan korban percobaan nuklir Moruroa e Tatou. Selain itu, organisasi lingkungan di Tahiti juga ikut dalam diskusi. Jadi masyarakat sipil juga bergerak, termasuk juga semua pemimpin gereja di Polinesia,“ demikian Tuheiava.

Richard Tuheiava mendapat dukungan beberapa anggota Senat. Tetapi undang-undang dengan cakupan luas tentang perusakan lingkungan masih harus melalui jalan yang panjang dan berbatu. Sementara itu, ikatan korban uji coba nuklir, AVEN terus menyuarakan seruan kepada masyarakat umum dan menuntut tanggungjawab dunia politik. Ketua AVEN Jean-Luc Sans yakin, bahwa pemerintah Perancis tidak dapat lebih lama lagi mengelak dari tanggung jawab.

Jean-Luc Sans memaparkan, “Mungkin pemerintah berpikir, masalah ganti rugi dapat berakhir dengan sendirinya secara bertahap, karena korban percobaan nuklir meninggal satu-persatu. Padahal sekarang anak-anak para korban juga aktif dalam organisasi, dan menuntut hak-hak orang tua mereka.“

Suzanne Krause / Marjory Linardy

Editor: Ayu Purwaningsih