1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Gerak dan Cerita pada Jakarta Berlin Arts festival (bag 2)

1 Juli 2011

Gerak tubuh, musik dan mimik wajah adalah bahasa universal yang menembus batas-batas keahlian bahasa tertentu. Di Jakarta-Berlin Arts Festival beberapa kelompok seni bercerita dengan metoda ini.

https://p.dw.com/p/11nTx
Padnecwara di BerlinFoto: Padnecwara

Di panggung studio Admiral Palast Berlin, adegan sabung ayam milik Wiraguna dan Pronocitro memanas. Kedua ayam jago diperankan dua lelaki berkostum tari Jawa klasik. Kedua lengan mereka bersayap merah, mengembang dalam pertarungan. Musik mengiringinya, diantara sorak sorai.

Pada saat sama, penari lelaki dan perempuan bergerak saling mendekat. Dari mata turun ke hati, berikutnya mereka berkasih-kasihan. Begitulah sepotong lakon Roro Mendut yang dibawakan kelompok Padneswara, yang dipimpin Retno Maruti. Meski asing, penonton Jerman memahami alur ceritanya dari gerakan para penari, tekanan lagu dan tata panggung.

Retno Maruti, "Kami mengusulkan beberapa judul tetapi panitia memutuskan Roro Mendut yang dipilih. Mungkin mereka ada pertimbangan sesuai kondisi masyarakat disini. Cerita Roro Mendut sendiri kan mirip dengan cerita Romeo dan Juliet kalau di negeri lain. Ini Roro Mendut versi Jawa.“

Penonton turut terisak, tenggelam dalam atmosfir tragis yang dihasilkan oleh jumlah musisi yang minim. “Biasanya gamelan paling sedikit 15 hingga 20 orang tapi bagaimana kita mengemas pertunjukan ini dengan pemain gamelan 7 orang tetapi tidak terasa sepi. Bagaimana 7 orang itu bisa memainkan instrument menjadi hidup. Penarinya juga begitu.“

Retno Maruti menyadari adanya perubahan zaman. Tarian klasik yang sarat filsafat, kini lebih berwujud hiburan. Karenanya, iapun lebih banyak membuat naskah, sambil mempersiapkan penerusnya agar tetap bisa bercerita kepada penonton berbagai latar belakang.

Jakarta Berlin Arts Festival
Foto: Sena Didi Mime

Gaya bercerita mengalami perkembangan. PMToh asal Aceh menunjukkan pada warga Berlin, bagaimana ia tidak hanya bercerita, namun juga berdiskusi dengan para penonton. Dalam bahasa Inggris patah-patah, PM Toh bernyanyi. PM Toh dulunya sebutan untuk trompet bus-bus Trans Sumatra di tahun 70-an. Julukan itu diberikan kepada Agus Nur Amal, yang selama masa magangnya keliling bersama gurunya di Sumatra menyampaikan dongeng-dongeng kreatif.

PM Toh kerap menggunakan benda-benda yang ia temukan di tempat sampah untuk membantunya berdongeng. Sebuah wajan di dalam kantung plastik ditaruh di depan perut untuk menggambarkan wanita hamil, misalnya. Di Berlin, salah satu tokoh ceritanya bernama Martin. Si Martin anak Jerman, pergi ke Jakarta naik pesawat. Di Jakarta, Martin disihir menjadi katak, entah mengapa.

PM Toh lalu menarik sebuah layar yang digambari seperti televisi yang berlubang. Kepalanya terlihat dari lubang bergerak dan bersuara seperti layaknya televisi. Apa yang ia sebut sebagai TV Eng Ong ini timbul dari rasa prihatinya melihat pemberitaan televisi mengenai korban tsunami Aceh di tahun 2004.

Ungkap Agus Nur Amal, “Saya tidak suka bagaimana televisi membombardir dan mengumbar kepedihan dan penderitaan, daripada memberitakan bagaimana masyarakat bisa survive. Keprihatinan terhadap televisi, saya bikin televisi sendiri.”

Di Aceh, TV Eng Ong dikenal baik oleh masyarakat berbagai desa dan warga banyak kampung yang pernah ia kunjungi. “Dalam TV Eng Ong, penonton bisa masuk, ibu ibu bisa main dalam TV Eng Ong dan bica menceritakan masalahnya di hadapan penonton.”

Jakarta Berlin Arts Festival
Krakatau tampil di Jakarta-Berlin Arts Festival 2011Foto: Agus Setiawan

Hal ini rupanya disukai oleh penduduk di Aceh, dan memudahkan diskusi mengenai urusan pilkada maupun kampanye kesehatan seperti mencuci tangan. Di Jerman, kebanyakan penonton PM Toh adalah anak-anak. Bagi PM Toh serta TV Eng Ong-nya komunikasi menjadi tantangan visual yang ia hadapi dengan gembira, serius dan penuh eksperimen. Tawapun merebak dari mulut Gubernur Jakarta yang ikut menonton.

Mengenai Jakarta Berlin Arts Festival, Fauzi Bowo mengatakan, “Saya berharap kegiatan ini mencerminkan keragaman budaya kita khususnya di Jakarta, sebagai melting pot budaya bangsa.”

Miranti Hirschmann
Editor: Edith Koesoemawiria