1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

210611 Japan Anti-Atomkraft-Bewegung

22 Juni 2011

Rangkaian unjuk rasa terjadi di Jepang tiga bulan pasca bencana atom Fukushima. Kaum pekerja, mahasiswa, hingga orangtua dan anak-anak mengusung spanduk bertuliskan "Tidak pada nuklir" atau "Tidak lagi Fukushima."

https://p.dw.com/p/11g15
Demonstrasi anti-nuklir di TokyoFoto: dapd

"Tidak ada yang bisa berkata kalau bencana Fukushima tidak akan menimpa kita semua, karena pembangkit listrik tenaga nuklir ada di mana-mana di Jepang," ujar seorang lelaki yang ikut turun ke jalan bersama 10 ribu warga lainnya menuntut pelucutan tenaga nuklir di Jepang.

Akiko Yoshida dari organisasi Friends of the Earth, yang juga anggota aliansi tindakan terhadap tenaga nuklir, terus mencermati perkembangan tuntutan warga Jepang. "Menurut jajak pendapat bulan Maret, sekitar setengah populasi Jepang menentang tenaga nuklir. Jumlah ini meningkat di bulan Juni. Melalui bencana Fukushima kami tersadar bahwa tenaga nuklir tidak lagi dapat dilanjutkan," ungkap Yoshida.

Sebelum 11 Maret, gerakan anti-nuklir di Jepang bisa dibilang terpecah. Tidak ada kesamaan sikap terkait teknologi nuklir. Kini situasinya berbeda. "Bulan Maret kami sadar bahwa kami harus berjuang bersama untuk mencapai sesuatu. Itulah mengapa Friends of the Earth, Greenpeace, WWF dan organisasi lingkungan lainnya membentuk jaringan."

Jaringan itu diberi nama E-Shifuto mengubah energi. Gerakan tersebut menggarisbawahi tiga poin, yakni meminimalisir dampak bencana atom terhadap kesehatan warga sebisa mungkin dan pertanggungjawabannya diperjelas. Poin kedua, promosi peralihan tenaga nuklir ke energi terbarukan. Sosialisasi warga juga harus berjalan dengan baik. "Kami menggelar seminar, mengumpulkan tanda tangan, serta mengorganisir unjuk rasa. Bersama kami lakukan segala hal yang mungkin."

Menurut Yoshida, sebelum terjadi bencana sebenarnya sudah banyak gugatan yang dilayangkan warga atas pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir. Namun selama ini keputusan sidang selalu menguntungkan operator PLTN. Sekarang warga lokal seakan memiliki argumentasi yang lebih kuat.

"Setelah Chernobyl, warga Jepang semakin ragu. Banyak warga di sekitar PLTN yang berjuang dengan petisi. Mereka mencoba meyakinkan politisi lokal mengenai bahaya yang ada. Jadi tidak bisa dibilang kalau dulu tidak ada gerakan anti-nuklir di Jepang," papar Yoshida.

Meski memang baru sekarang masyarakat luas ikut tersentuh. Perdana Menteri Naoto Kan menawarkan debat substantif mengenai kebijakan energi Jepang. "Kan sebentar lagi akan pensiun. Ia telah mengumumkan niatnya untuk memperkuat undang-undang mengenai energi terbarukan di Jepang. Namun di pertemuan G8, Kan mengungkapkan 2 pilar Jepang, yakni bahan bakar fosil dan energi nuklir, yang akan terus dipertahankan. Sementara energi terbarukan menjadi pilar yang ke-tiga. Ini tentu belum cukup. Kami harus mengubahnya," tandas Yoshida.

Menyusul bencana atom Fukushima, batas pemaparan radiasi bagi warga dewasa dan anak-anak meningkat 20 kali lipat. Batas yang menyamai level pemaparan maksimum bagi pekerja industri nuklir di banyak negara.

Peter Kujath/Carissa Paramita

Editor: Edith Koesoemawiria