1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hadapi Maut dengan Besar Hati

Andrea Grunau15 November 2012

Yang datang ke sini tahu, masa hidupnya tidak lama lagi. Apakah ini tempat mengerikan penuh ketakutan? Ada yang berkata, "Saya bahagia, boleh berada di sini".

https://p.dw.com/p/16jJB
Foto: picture-alliance/dpa

Ingrid B. sekarang tinggal di rumah khusus untuk orang-orang yang dalam waktu dekat akan menghadapi kematian, yang dalam bahasa Jerman disebut Hospiz. Sebelumnya ia tinggal di rumah jompo. Kesehatannya sangat buruk. "Diare tanpa henti, perasaan sakit, tidak tahu sebabnya. Saya tidak tahu lagi bagaimana saya harus bertahan, karena mual, perasaan sakit dan ketakutan akan hari berikutnya". Para dokter telah menangani kankernya dengan kemoterapi, kanker usus yang sudah menyebar ke organ-organ lainnya.

Ketika mendapat diagnose kanker awal tahun ini, Ingrid B segera menghubungi dinas pendamping menjelang kematian. Beberapa waktu kemudian ia menelpon dinas itu karena merasa tidak mampu lagi menanggung penderitaan, dan siap bunuh diri. Dua hari setelahnya, ia pindah ke Hospiz di kota Koblenz. "Saya sangat lega, bisa berada di sini."

Punya Keinginan Menikmati Hidup

Sepekan setelahnya, perempuan bertubuh kecil yang tidak mau makan lagi dan hanya berberat tubuh 35 kg itu, duduk menatap terasnya yang mungil di saat makan siang. Setelah mendapat penanganan intensif dengan ilmu kedokteran yang bertujuan mengurangi dampak sakitnya (palliative care), Ingrid B. tidak merasakan sakit lagi. Ia tampak senang, ketika menceritakan perawatan yang diberikan kepadanya dengan sepenuh hati dan tanpa paksaan apapun. Ia merasa nyaman, seperti seorang anak yang berada di rumah orang tuanya. Begitu digambarkan Ingrid B., yang punya gelar di bidang pendidikan. Sambil tersenyum ia menambahkan, "Saya tidak sedang fly sekarang." Perawatan yang penuh kasih menimbulkan "perasaan tenang yang menyenangkan", yang tidak pernah ia duga akan dirasakan lagi dalam situasinya sekarang. "Saya tidak akan pernah sehat lagi, tapi bagaimana orang melewatkan masa akhir hidupnya bukan sesuatu yang sepele."

Di Hospiz semua orang harus bisa hidup seperti ia inginkan dan bagus baginya, serta sebaik mungkin tanpa perasaan sakit. Jadwal aktivitas setiap hari tidak ada, kata pemimpin Hospiz, Anne Egbert: "Di sini tidak ada orang yang dibangunkan jam enam pagi, supaya ia jam tujuh sudah berbaring di tempat tidur dalam keadaan bersih". Di rumah khusus itu, jumlah perawat lebih banyak daripada jumlah orang yang dirawat, sehingga untuk setiap penghuni waktu yang diluangkan lebih banyak daripada di rumah sakit atau rumah perawatan.

Karena semua penghuni tahu, apa yang menanti mereka, pergaulan jadi mudah, dijelaskan Egbert. Menyertai seseorang dalam fase hidup yang sangat pribadi seperti ini, dan ikut ambil bagian dalam banyak bagian hidup, memperkaya dirinya sendiri. Seorang psikolog berbincang-bincang dengan para pekerja secara teratur. Sehingga mereka dapat mengolah kesedihan dan pengalaman yang membebani itu dengan baik. Bagi setiap orang yang meninggal, acara peringatan diadakan di kamarnya bersama anggota keluarga yang ditinggalkan. Kadang tim perawat mengenang orang-orang yang meninggal di bulan yang baru lewat, yang jumlahnya bisa sampai 20. Suasana di rumah itu sangat positif, kata Anne Egbert, baginya Hospiz adalah "rumah kehidupan, bukan rumah kematian."

Setiap Orang Mendapat Yang Dibutuhkan

Yang menjadi pokok utama adalah kebutuhan para "tamu", begitu sebutan bagi para penghuni. Di rumah itu dirayakan ulang tahun, di musim panas mereka mengadakan barbecue di luar. Semua orang hidup dengan tenang. Seorang pria yang baru mulai tinggal di rumah itu memasuki ruang kaca yang jadi taman musim dingin, dan bercerita ia ingin pergi ke kota dengan kursi rodanya, karena cuaca musim gugur sangat indah. Bagi seorang penghuni lainnya, koki sedang memasak makanan kesayangannya. Ingrid B. sangat menikmati pijat dengan minyak kelopak mawar. Tamu-tamu lainnya diganti perbannya atau mendapat obat-obatan selama 24 jam.

"Jika saya memasuki sebuah kamar, saya harus bisa segera merasakan, apa yang sedang dibutuhkan sekarang“, demikian Michaela Hinz menggambarkan pekerjaannya. Seperti halnya semua pekerja Hospiz, ia punya pendidikan sebagai perawat dan pendidikan tambahan di bidang palliative care. Jadi ia mengerti perawatan untuk mengurangi rasa sakit dan penanganan rasa sakit, yang bertujuan untuk membebaskan seseorang dari rasa sakit dan perbaikan kualitas hidup hingga berakhir. "Kalau melahirkan, orang perlu bidan, kalau mendekati kematian, saya yang menolong", begitu Michaela Hinz menjelaskan pekerjaannya kepada tiga anaknya. Pekerjaan ini memberikan dirinya kekuatan, kata Michaela Hinz, karena orang-orang yang disertainya memberikan pengaruh positif. Selain itu ia semakin yakin, apa yang paling penting dalam hidup.

Meninggalkan Dunia dengan Tersenyum

Pada suatu siang hari, Michaela Hinz berada bersama Rosemarie V., di mana ia segera menyadari, "perawatan sudah tidak perlu lagi". Ia memijat dengan lembut wajah Rosemarie yang sudah mendekati ajalnya, juga tangan dan kakinya, dan merasakan bahwa Rosemarie semakin merasakan ketenangan. Ketika suami Rosemarie datang, Michaela Hinz juga berhasil menenangkannya, sehingga ia masih bisa berbicara dengan istrinya.

Ketika pergantian dinas sore hari, Michaela Hinz memberitakan bahwa ibu Rosemarie V. telah meninggal dengan tenang. "Perasaannya sangat indah, Rosemarie berbaring dengan tenang di tempat tidurnya dan tersenyum sedikit". Saat seperti ini, ketika hal lainnya tidak penting lagi, selain orang-orang di kamar itu, tidak dikenal di dunia luar, kata Michaela Hinz. Akhirnya yang ada hanya "ketenangan yang sangat banyak." Suami Rosemarie V. sangat berterima kasih atas perpisahan yang tenang bagi istrinya.

Bagi keluarga Ingrid B, Hospiz itu menjadi keringanan besar. Saudara laki-lakinya, yang tidak tahan berada di rumah sakit, merasa senang di Hospiz. Untuk pertama kalinya kedua bersaudara itu berbincang-bincang tentang banyak hal, yang tidak sempat dibicarakan sejak bertahun-tahun lalu.

Membangun Jembatan antara Hospiz dan Masyarakat

Semua orang tahu, manusia lebih mudah melepaskan diri dan meninggal, jika kebutuhan psikologis, sosial dan spiritualnya terpenuhi, apapun agama atau keyakinannya. Untuk itu banyak pekerja, antara lain dokter, psikolog, pendeta atau pastur, atau sukarelawan lain yang ingin menolong, sehingga seseorang bisa meninggal sesuai harkatnya. Hospiz berawal pada peranan dan fungsi yang dipikul setiap pekerjanya, dan selama ini hidup karena peranan setiap pekerja. Di ikatan Hospiz di kota Koblenz saja bekerja 100 sukarelawan. Di seluruh Jerman jumlahnya 80.000.

Salah satu pekerja sukarela ini adalah Irmgard Blätter. Ia sendiri mengalami, bagaimana orang merasa tak berdaya dan sendirian, jika anggota keluarganya sakit keras. Ketika putranya Frank mendapat diagnosa kanker paru-paru pada usia 27 tahun, ia merasa banyak kenalan yang menghindar. Sekarang ia sadar, para kenalan itu tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dulu ia merasa terluka. Setelah putranya meninggal, ia memutuskan untuk membantu orang lain agar dapat mengalahkan perasaan takut akan kematian. Ia ikut pendidikan setahun untuk menjadi sukarelawan Hospiz.

Tidak Dikagetkan Kematian

Ingrid B. mengatakan, ia masih punya banyak rencana untuk tahun-tahun mendatang, tetapi sekarang ia harus menggunakan waktunya untuk hal-hal lain. Ia banyak merenung, tentang berbagai perjalanan dan orang-orang yang membuat hidupnya kaya dan indah. Ia ingat, bagaimana ia selalu berjuang demi hal yang diyakininya. Misalnya ketika berkuliah di Marburg ia mendukung gerakan perdamaian, atau ketika ia ikut mendirikan rumah penampungan perempuan di Koblenz. Kepercayaannya juga menjadi pegangan. Ia menjadi tambah dekat dengan Tuhan. Katanya, "Saya sekarang berbicara langsung dengan Tuhan." Ia yakin, "Hidup ini bukanlah akhirnya."

Hospiz tidak dianggapnya sebagai tempat untuk meninggal, "melainkan terutama sebagai tempat, di mana orang hidup dan tertawa". Jika hidupnya berakhir, ia berharap "dapat meninggal dengan hormat. Tidak di antara peralatan kedokteran, tidak di antara pasien lain yang berkeluh-kesah, atau di stasiun gawat darurat, di mana selalu ribut dan banyak kesibukan." Karena itulah ia pergi ke Hospiz. Ingrid B. berharap bagi semua orang, "agar sesegera mungkin memikirkan, bagaimana mereka ingin meninggal, sehingga tidak dikagetkan oleh kematian". Pada hari kematiannya ia ingin, agar orang yang mengenalnya dan menyayanginya menggenggam tangannya dan menyertainya beberapa langkah.