1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hadiah bagi "Dokter Warga Miskin"

Thomas Latschan27 September 2012

Dokter Afghanistan, Sima Samar mendapat hadiah Nobel alternatif 2012. Ia mendapat penghargaan karena berjuang bagi pendidikan, persamaan hak dan HAM di Afghanistan.

https://p.dw.com/p/16GYN
FILE - In this Friday, Oct. 8, 2010 file photo, Afghan human rights advocate Sima Samar, who was one of the candidates for the 2010 Nobel Peace Prize, smiles after she watched the announcement of the Nobel Peace prize, in Kabul, Afghanistan. The Arab Spring is the focus of speculation over this year's Nobel Peace Prize, with an Afghan human rights activist and the European Union as possible outsiders. The Norwegian Nobel Committee gives no clues ahead of the Oct. 7 announcement, but judging by previous selections, the rebellion sweeping across North Africa and the Middle East would appear to tick all the right boxes. (Foto:Dusan Vranic/AP/dapd)
Foto: dapd

Ketika dokter Sima Samar dari Afghanistan mendengar bahwa ia mendapat hadiah Nobel alternatif 2012, ia awalnya hanya memberikan reaksi sederhana. "Bagi saya, saya tidak melakukan sesuatupun yang istimewa. Tetapi lingkungan tempat saya bekerja memang sangat sulit." Itu dikatakan perempuan asal Afghanistan, yang lahir tahun 1957, dalam pernyataannya kepada Right Livelihood Award Foundation, yang memberikan hadiah Nobel alternatif.

Situasi sulit inilah yang menyebabkan yayasan Swedia itu memutuskan memilih Samar. Ia terutama dihargai karena bertahun-tahun melaksanakan tugas yang membahayakan jiwanya sendiri, juga "keberanian dan tekadnya (...) untuk bekerja di salah satu daerah paling labil di dunia". Sima Samar juga menjadi calon penerima hadiah Nobel perdamaian, yang baru akan diumumkan dua pekan depan di Oslo.

Sederhana, Terus Terang dan Kritis

Di Afghanistan, Samar yang berusia 55 tahun terkenal sebagai "dokter warga miskin“. Juga sebagai perempuan yang sepenuhnya membaktikan diri bagi pendidikan orang-orang yang tersisih di masyarakat, demikian halnya bagi persamaan hak perempuan dan untuk hak asasi manusia secara umum.

ARCHIV - Sima Samar nimmt am 11.12.2007 an einer Veranstaltung der Vereinten Nationen in Genf, Schweiz, teil. Die Afghanin gilt als «Ärztin der Armen», Vorkämpferin für die Ausbildung von Menschen am Rand der Gesellschaft, Verfechterin der Gleichberechtigung von Frauen und Verteidigerin der Menschenrechte für alle. Samar wird am Donnerstag (27.09.2012) in Stockholm, Schweden, mit dem als Alternativer Nobelpreis bekannten «Right Livelihood Award» («Preis für richtige Lebensführung») ausgezeichnet. Foto: Salvatore Di Nolfi dpa (zu dpa "Alternativer Nobelpreis an afghanische Menschenrechtlerin" vom 272.09.2012) +++(c) dpa - Bildfunk+++
Sima Samar dalam sebuah acara PBB di Jenewa, Swiss (11/12/2007)Foto: picture-alliance/dpa

Padahal Sima Samar sudah menghadapi situasi sulit sejak awal, karena ia termasuk kelompok minoritas Syiah Hasara, yang sering didiskriminasi di Afghanistan. Namun demikian, Sima Samar tetap berhasil menyelesaikan studi kedokteran di universitas Kabul awal tahun 1980-an. Tetapi setelah Uni Sovyet melakukan invasi ke Afghanistan, ia terpaksa mengungsi ke negara tetangga Pakistan. Sebelumnya, suaminya diculik dan sejak itu ia tidak pernah melihatnya lagi.

Masa pengasingannya di Pakistan berlangsung sekitar 17 tahun. Sebagai dokter muda ia lama bekerja di sebuah tempat penampungan pengungsi Afghanistan. Di kota Quetta, di dekat perbatasan dengan Afghanistan, tahun 1987 ia mendirikan rumah sakit pertama bagi perempuan dan anak-anak. Dua tahun setelah itu ia mendirikan organisasi Shuhada, yang sekarang mengurus lebih dari seratus sekolah, juga 15 rumah sakit dan klinik.

Logo des "The right Livelihood Award". Zugeliefert durch Nenad Kreizer am 16.09.2010, Copyright: The right Livelihood Award.
Logo hadiah The Right Livelihood AwardFoto: The right Livelihood Award

Setelah pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban, dokter perempuan itu terus melaksanakan perawatan medis dan sekolah bagi perempuan dan anak-anak. Setelah pasukan AS memasuki Afghanistan tahun 2001, ia kembali ke Afghanistan dan menjadi Menteri Urusan Perempuan dalam pemerintahan sementara Afghanistan. Tetapi tahun 2002 ia mengundurkan diri dan mengambil alih posisi ketua Komisi HAM independen di negaranya. Karena pekerjaannya di komisi itu, juga karena laporan serta pernyataan kritis, ia beberapa kali terlibat konflik dengan pemerintah dan Presiden Hamid Karzai.

"Penghargaan Ini adalah Isyarat"

Juga karena itu, pakar seperti Thomas Ruttig dari Afghanistan Analysts Network menilai penghargaan bagi Samar sangat layak diberikan. Karena Komisi HAM itu bekerja di "lingkungan yang kian lama kian tidak ramah“, demikian Ruttig. Contohnya, pemerintah di bawah Hamid Karsai mencegah penerbitan laporan tentang kejahatan perang oleh gerakan Mujahidin.

Selain itu, dukungan bagi komisi dari negara-negara barat dalam beberapa tahun belakangan semakin berkurang. "Jadi penghargaan itu juga merupakan isyarat politis, untuk tidak melupakan Afghanistan saat negara-negara barat menarik pasukannya," dijelaskan Ruttig sambil menambahkan bahwa banyak masalah di negara itu tetap belum terselesaikan.

Jakob von Uexkull founder of The Right Livelihood Award, announcing the prizewinners 2003 during a news conference Thursday Oct. 2, 2003 in Stockholm.. The prize winners are Walden Bello, Nicanor Perlas of Philippines, the organization Citizens Coalition for Economic Justice (CCEJ) of South Korea, and the company SEKEM of Egypt. (AP Photo/Jonas Ekstromer) ** SWEDEN OUT **
Jakob von Uexkull, kepala dan penggagas The Right Livelihood AwardFoto: AP

Sima Samar membenarkannya. Walaupun ia sudah membaktikan diri puluhan tahun, situasi kaum perempuan di negara itu masih tetap sulit. Memang penyamaan hak sekarang sudah dijamin dalam konstitusi, tetapi dalam pelaksanaannya masih banyak masalah. Situasi HAM juga masih kritis.

Tetapi yang paling penting di Afghanistan sekarang adalah sektor pendidikan, demikian pendapat Samar. Sekolah dan pendidikan adalah "kunci menuju masyarakat yang berkembang, dengan tingkat kemiskinan rendah dan rasa hormat bagi HAM". Walaupun masalah di negara itu masih banyak, Sima Samar tetap optimis. Negara itu sudah berkali-kali harus melewati situasi sulit, "dan kami selamat", kata Samar sambil menekankan, "Kami juga akan melewati kesulitan kali ini.“