1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Harapan Baru Penegakkan Hak Asasi di Dunia Islam?

14 Desember 2012

Perwakilan Komisi HAM Organisasi Konferensi Islam yang berkumpul untuk pertama kalinya di Washington, menyatakan bakal mulai bekerja akhir tahun ini.

https://p.dw.com/p/172QL
Foto: AP

“Beberapa bulan terakhir, kami telah mengidentifikasi sejumlah masalah yang menjadi prioritas dan sekarang kami berencana akan mulai bekerja untuk menyoroti berbagai isu itu melalui sejumlah kelompok kerja, dalam bulan Desember di Jeddah,” kata Ketua Komisi tersebut Siti Ruhaini Dzuhayatin di Washington hari Kamis (13/12).

“Secara khusus, komisi ini diharapkan bekerja menghapus kesalahan persepsi atas isu bahwa nilai-nilai Islam tidak cocok dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.”

Terkait masalah ini, ketua Komisi HAM OKI mengatakan bahwa dia dan para pengurus lainnya yang terlibat dalam badan itu akan menekankan, bahwa mandat komisi itu adalah untuk mengurusi masalah sipil, politik, ekonomi, sosial dan hak-hak budaya dalam konteks pelaksanaan universal. Komisi ini tidak akan mencoba untuk menerapkan pemahaman campuran tentang hak asasi manusia yang telah disaring melalui Islam. Mereka menegaskan bahwa OKI sendiri adalah sebuah badan politik bukan agama.

Dipimpin Perempuan asal Indonesia

Didirikan pada tahun 1969 dan mewakili 56 negara termasuk otoritas Palestina, Organisasi Konferensi Islam adalah organisasi antar negara kedua terbesar yang ada di dunia setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ide pembentukan badan HAM OKI pertama kali mengemuka tahun 2005, saat negara-negara anggotanya menyepakati rencana baru sepuluh tahun ke depan, yang memasukkan soal pembentukan komisi tersebut.

Rencana itu memperluas upaya untuk mendefinisikan ulang OKI, yang awalnya dibentuk seputar moderasi dan modernisasi dunia Islam. Pada pertengahan 2011, OKI secara resmi membentuk badan baru yakni Komisi Independen Hak Asasi Manusia dan memilih 18 anggota komisi itu, yang akan bekerja sebagai penasihat bagi para Menteri Luar Negeri OKI.

Para anggota komisi itu terdiri dari para pengacara, aktivis, akademisi dan diplomat, termasuk diantaranya empat perempuan, termasuk Ketua Komisi, Siti Ruhaini Dzuhayatin, seorang dosen sosiologi dari Indonesia. Para anggota dari tiga wilayah besar OKI yakni Asia, Afrika dan Arab masing-masing diberi 6 jatah sebagai anggota Komisi.

Siti Ruhaini Dzuhayatin mengatakan bahwa Komisi itu selama setahun terakhir telah memformulasikan kerangka acuan dan prosedur kerja. Hal penting dalam proses itu adalah kesepakatan mengenai wilayah prioritas, termasuk diantaranya isu perempuan dan anak-anak, hak-hak politik dan kelompok minoritas, serta masalah Israel-Palestina.

Selama empat dekade berdirinya OKI, topik terakhir selalu menjadi isu penting dan kini digambarkan sebagai salah satu agenda Komisi Independen HAM OKI.

“Ini tidak akan mempergunakan sudut pandang politik, tapi lebih pada perspektif hak asasi manusia,” kata dia. “Misalnya, bagaimana dampak konflik ini pada kehidupan masyarakat, perempuan dan anak-anak khususnya, dalam konteks hak mereka untuk berkembang, mendapatkan kedamaian, perlindungan keamanan dan pendidikan.”

Hanya Penasihat?

Melampaui wilayah luas itu, relatif hanya sedikit detail yang diberikan terkait proses mengenai bagaimana Komisi itu menentukan isu-isu yang akan menjadi fokus utama kerja mereka. Rizwan Sheikh, Direktur Eksekutif Sekretariat Komisi tersebut di Jeddah mengatakan bahwa badan baru itu akan menerima sejumlah agenda baik dari atas maupun bawah, artinya baik dari Para Menteri Luar Negeri OKI maupun laporan masyarakat.

Otonomi dan independensi Komisi itu jelas menjadi kekhawatiran bagi mereka yang terlibat di dalamnya, karena para pengamat masih menganggap mereka sebagai pengamat yang ada di luar organisasi. Sebagaimana mandat yang diberikan, setiap anggota Komisi akan dinominasikan oleh negara mereka dan kemudian dipilih melalui pemilihan rahasia oleh perwakilan Menteri Luar Negeri OKI.

Namun Sheikh menekankan bahwa akan menjadi kebijakan kolektif komisi untuk memutuskan tentang bagaimana dan kapan lembaga baru itu akan memulai agenda mereka.

“Aturan mengenai pembentukan badan baru ini, memberi kepada para anggota Komisi derajat kemandirian yang tidak pernah ada di OKI selama empat dekade terakhir. Untuk pertama kali dalam sejarahnya, OKI membentuk sebuah badan yang terdiri dari para ahli independent,” kata Sheikh.

Saat bekerja akhir Desember nanti, sejumlah isu telah menanti Komisi ini termasuk diantaranya kekerasan terhadap perempuan, buruh anak, anak-anak yang dipersenjatai di wilayah konflik, dan sejumlah topik yang lebih sensitif seperti pernikahan dibawah umur, hak atas pendidikan dan isu-isu sejenis.

Pada dua pertemuan awal yang digelar Komisi itu, kekerasan atas Muslim Rohingya di Myanmar dan pertumpahan darah di Suriah serta pembakaran Al Quran di Afghanistan dicatat secara khusus sebagai hal yang mendesak.

Dunia Menanti Kerja Komisi

Untuk saat ini, Komisi itu telah memutuskan bahwa langkah awal mereka antara lain meminta kepada setiap anggota OKI untuk mengirimkan semua aturan hukum yang terkait dengan wilayah priorotas Komisi tersebut.

“Kami sangat berharap badan ini akan bekerja secara independen dan bisa menjadi sarana untuk bicara dengan pemerintahan negara-negara OKI dan menegaskan lagi hak asasi manusia yang bersifat universal,” kata Joelle Fiss, seorang aktivis hak asasi manusia dari Human Rights First, yang berbasis di Washington.

ab/ as (IPS )