1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Harapan Warga Afghanistan Akan Konferensi Bonn

2 Desember 2011

Tanggal 5 Desember digelar konferensi internasional Afghanistan di Bonn, Jerman. Sejak satu dekade, dunia internasional mendukung negara di Hindukush tersebut dengan bantuan militer dan keuangan.

https://p.dw.com/p/13LI1
Foto: AP

Jika adzan terdengar di provinsi Kandahar di Afghanistan Selatan, kegiatan warga setempat seperti terhenti. Kaum pria, tua dan muda, segera beranjak menuju mesjid terdekat. Para jemaat tidak hanya datang ke mesjid untuk shalat, tetapi juga untuk saling tukar menukar informasi akan perkembangan terakhir di negaranya. Akhir-akhir ini, setiap orang berusaha mendapat informasi tentang konferensi Afghanistan di Bonn.

Sayed Shah, pria muda dari Kandahar menjelaskan alasannya, "Pada konferensi Bonn pertama, masalahnya tentang pengiriman pasukan asing ke Afghanistan. Kini, saat mereka akan kembali meninggalkan Afghanistan, kami ingin tahu bagaimana kelanjutan nasib negara kami."

Warga di Kandahar, yang dulu dikenal sebagai markas Taliban, khawatir akan bangkitnya kelompok Islamis militan tersebut. Banyak yang takut, akan terjadi perang saudara antara pendukung warlord, panglima perang yang berkuasa, dan Taliban. Mereka tahu, bahwa polisi maupun militer Afghanistan tidak akan mampu menjaga keamanan tanpa bantuan pasukan asing di negaranya. Semua ingin tahu apa yang akan terjadi di Afghanistan, setelah pasukan internasional mundur tahun 2014.

Palwasha berasal dari Mazar i Sharif di utara Afghanistan, dimana 3500 militer Jerman ditempatkan. Ia adalah ibu rumah tangga dan punya dua orang anak. Ia turut merasakan kekhawatiran warga di wilayah selatan. Palwasha khususnya berharap, kaum perempuan di Afghanistan tidak akan diabaikan di tengah ketidakpastian ini. "Saya berharap, mereka yang berkumpul di Bonn, tidak akan kembali mengorbankan sedikit kebebasan yang diperjuangkan dalam beberapa tahun terakhir bagi perempuan Afghanistan. Semua orang tahu, banyak perempuan adalah tulang punggung keluarganya. Mereka adalah pencari nafkah utama. Mereka tidak boleh kembali dikunci di dalam rumah."

Dunia internasional dan juga pemerintah Afghanistan mengandalkan perundingan perdamaian dengan Taliban. Menurut Palwasha, ini hal yang baik. Ia kembali menekankan untuk tidak melupakan kaum perempuan di Afghanistan. Saat Taliban berkuasa antara tahun 1995 hingga 2001, perempuan Afghanistan dilarang untuk memperoleh akses ke dunia pendidikan dan lapangan kerja. Seorang perempuan hanya boleh keluar dari rumah dengan didampingi seorang pria yang masih memiliki hubungan keluarga dengannya.

Nasir Dehqan, seorang guru di Herat wilayah barat Afghanistan, punya pengalaman buruk dengan masa kepemimpinan Taliban dan saat perang saudara berlangsung di awal tahun 90an. Dulu terjadi perseteruan antara beberapa kelompok Mujahidin yang berbeda. Mereka yang sebelumnya bersatu untuk memerangi pasukan Rusia, kemudian memperebutkan kekuasaan di Afghanistan. Banyak kota, khususnya ibukota Kabul, yang mengalami kerusakan berat karenanya.

Nasir Dehqan mengingatkan dunia internasional akan janji mereka tentang perwujudan perdamaian dan demokrasi di negaranya. Dehqan menuntut mereka untuk menepati janjinya. "Di Bonn banyak pemimpin negara berkuasa yang bertemu. Saya berharap mereka sadar, bahwa di Afghanistan tidak semua telah tercapai dari apa yang mereka putuskan sebelumnya. Saya berharap, mereka khususnya mengingat nasib rakyat biasa di Afghanistan dan tidak membiarkan mereka tanpa bantuan."

Selama lebih dari 30 tahun, warga Afghanistan mengalami pertempuran dan perang saudara. Nasir Dehqan menambahkan, "Kami hanya bertahan hidup, karena masih memiliki harapan bahwa akan terwujud masa depan yang lebih baik." Rakyat Afghanistan tidak mengharapkan, bahwa dunia internasional bisa menyelesaikan semua masalah di negaranya. Namun, mereka juga tahu persis, bahwa tanpa dukungan internasional, negaranya tidak akan memperoleh masa depan yang lebih baik.

Ratbil Shamel / Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Dyan Kostermans