1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Hikayat Marah

14 Agustus 2017

Pembakaran hidup-hidup warga yang dituduh mencuri amplifier masjid di Bekasi sulit dipahami akal sehat. Berkaca dari kasus mengerikan itu, apa yang terjadi dengan kita saat ini? Berikut opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2i7JW
Symbolbild Streichhölzer brennen ab abbrennende Streichhölzer Feuer Hitze Streichholz
Foto: picture-alliance/dpa/P. Frischknecht

Menjadi mahluk beragama tak menjamin kita luput dari kemarahan. Yang terjadi agama dan hal-hal yang menyangkut agama justru sering menjadi sumber kemarahan. Dari kemarahan bernuansa agama yang menimbulkan perang bela agama, hingga urusan nyinyir di media sosial yang membikin urusan perkawanan dan kekeluargaan jadi tak harmonis.

Kemarahan yang bersumber pada agama telah banyak mencatat korban. Di dunia politik, kemarahan digadang-gadang untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Dalam pilkada DKI yang baru lewat, kemarahan kaum beragama dimanfaatkan untuk menjatuhkan Ahok. Meskipun banyak kebijakan Ahok yang sebenarnya lebih esensial untuk dipersoalkan, ternyata lebih gampang menjatuhkan Ahok lewat isu penghinaan agama.

Penulis: Uly Siregar
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Lantas ada pula kemarahan yang sangat sulit dipahami: marah karena menduga seseorang mencuri amplifier dari sebuah mushala. Adalah seorang pria berinisial MA. Pria ini diduga mencuri amplifier dari mushala Al-Hidayah di Desa Hurip Jaya, Babelan, Kabupaten Bekasi. Saat berusaha kabur, ia ditangkap warga, diarak, dan dipukuli.  Dan saat meregang nyawa ia dibakar hingga menemui ajal.

Beberapa saksi mengatakan MA berusaha menyangkal tuduhan pencurian yang menjadi pangkal kemarahan massa. Namun ucapan MA tidak dipercaya. Tanpa ada verifikasi,  tanpa penyelidikan atas bukti, tanpa ada proses pengadilan yang berakhir dengan keputusan si terduga benar atau salah MA pun dihakimi dengan semena-mena. Ada lagi lontaran ngawur yang menjadi pembenaran aksi pembunuhan, "Ah, maling mana ada yang mau ngaku.” Belakangan istri MA, Siti Zubaidah, menampik tuduhan bahwa suaminya pencuri. Dalam kesedihannya ia mengatakan, "Kalau pun umpamanya suami saya bersalah, melakukan pencurian itu, tapi kan enggak harus sampai dianiya atau dibakar begitu kan, dia bukan hewan.” Sebuah pernyataan yang tak bisa disangkal. Tak ada alasan yang bisa membenarkan pembunuhan yang terjadi pada MA.

Siapa yang masih punya akal sehat?

Tak semua warga bersepakat mengakhiri nyawa MA. Sebagian sempat ingin mengamankan MA agar tak diamuk massa. Namun jumlah mereka yang memiliki akal sehat ini kalah dengan jumlah massa yang tersulut kemarahannya. Massa mengamuk lebih mengikuti teriakan "bakar, bakar, bakar” daripada mencari kejelasan dugaan pencurian tersebut. Dalam kemarahannya, mereka sepertinya lupa ajaran Islam mengedepankan tradisi tabayyun yang mementingkan check dan re-check.

Pihak otoritas mencoba menjelaskan kejadian tragis itu. Menurut Kepala Polres Metro Bekasi, Kombes Pol Asep Adi Saputra, apa yang terjadi merupakan perilaku kolektif. Artinya masyarakat tergerak merespon suatu peristiwa dengan spontan, tidak sistimatis, tidak terstruktur.  Tidak semua orang yang berada di lokasi kejadian terlibat dalam amuk masa. Banyak juga yang hanya datang berkerumun dan penasaran tentang apa yang sedang terjadi.

Dalam sebuah artikel lawas di Kompas, Romo Muji Sutrisno dari Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara pernah mengatakan masyarakat Indonesia semakin mudah marah dan melancarkan kekerasan di ruang publik. Hal ini terjadi karena masyarakat kehilangan kepercayaan pada pemerintah, politikus, pengusaha, bahkan pada tokoh masyarakat dan agamawan. Kondisi ini disebut dengan distrust society atau masyarakat yang hilang kepercayaan. Ruang publik kehilangan moral dan hukum rimba pun berlaku. Pada tingkat paling parah, manusia akan saling memangsa atau dikenal dengan istilah homo homini lupus.

Orang beriman seharusnya pandai mengendalikan kemarahan

Ada banyak teori yang mungkin bisa menjelaskan kejadian pembunuhan sadis oleh massa. Mengendalikan amarah toh memang bukan hal gampang. Namun sebagai masyarakat yang rajin mengaku agama dan nilai-nilai keagamaan menempati posisi tinggi dalam kehidupan bermasyarakat, seharusnya apa yang menimpa MA tak perlu terjadi. Orang beriman seharusnya pandai mengendalikan kemarahan. Agama seharusnya menjadi benteng yang menghindari manusia dari kemarahan yang menimbulkan gelap mata dan menumpulkan mata hati. Bukan sebaliknya, menjadi alasan untuk marah dan membunuh karena amplifier yang diduga dicuri dari sebuah mushala.

Di luar soal teori-teori dan tidak bergunanya kekuatan agama dalam menghindari kasus ini, kita juga tahu yang paling bertanggung jawab atas kematian MA sesungguhnya adalah negara. Negara telah gagal memberi keadilan pada MA, gagal melindungi rakyatnya pada saat paling kritis. Korban adalah bagian dari kaum miskin, dan ia dihukum oleh massa tanpa proses pengadilan. Ia menjadi mangsa massa yang merasa berhak mengeksekusi MA karena tak percaya pada proses hukum. Dan ini bukan tanpa alasan, karena dalam berbagai aspek negara toh memang sering menciderai kepercayaan rakyatnya, termasuk dalam soal penegakan hukum.

Penulis:

Uly Siregar (ap/hp)  bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

 

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.