1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hukuman Mati Bukan Solusi

10 Oktober 2015

Dilanjutkannya penerapan hukuman mati, menjadi salah satu kesalahan terbesar dalam peradaban manusia. Semua bukti menunjukkan, hukuman biadab itu tak mampu mencegah aksi teror maupun kejahatan. Perspektif Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1Empv
Symbolbild : Galgenhumor
Foto: picture-alliance/dpa

Banyak sekali argumen menolak hukuman mati. Sebagaimana disebutkan organisasi hak asasi Amnesty International, hukuman mati meniadakan hak untuk hidup, dan merupakan "hukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat". Ini tidak hanya tentang tindak pembunuhan seorang manusia, melainkan juga tentang penderitaan mental yang dialami terpidana selama masa penantian eksekusi.

Hukuman mati biasanya dilaksanakan secara massal oleh rejim otoriter, seperti di Korea Utara, Cina, Iran dan Arab Saudi. Di dua negara yang disebut terakhir, ada 249 dan 90 orang yang dieksekusi mati tahun 2014. Iran, Korea Utara, Arab Saudi dan Somalia masih melaksanakan eksekusi di depan umum. Cina menjadi negara yang paling banyak melakukan eksekusi, angka tidak resmi menyebut lebih 1000 orang tahun 2013.

Di banyak negara, lembaga pengadilan dan aparat penegak hukum demikian buruk, sehingga terdakwa tidak bisa memperoleh proses yang adil. Bahkan di Amerika Serikat, salah satu demokrasi terbesar dunia, hukuman mati jauh lebih sering diterapkan pada kaum miskin dan warga etnis minoritas. Sebagian besar terpidana mati adalah warga Afro-Amerika. Di AS dan banyak negara lain yang masih menerapkan hukuman mati, banyak laporan tentang "barang bukti" yang dipalsukan atau disembunyikan oleh penyidik, hanya untuk memastikan agar terdakwa dihukum.

Grahame Lucas
Grahame Lucas kepala redaksi South-East Asia DWFoto: DW/P. Henriksen

Salah satu argumen yang paling sering digunakan untuk hukuman mati adalah efek penjeraan. Padahal ada sedemikian banyak penelitian membuktikan, praktek hukuman mati tidak menurunkan angka kejahatan besar atau perdagangan narkotika atau hal-hal lain.

Hukuman mati adalah sebuah tindakan final. Artinya, eksekusinya menghapus kemungkinan bagi si pelaku melakukan rehabilitasi. Mungkin saja, hukuman mati bisa memuaskan nafsu balas dendam korban maupun keluarganya. Tapi dalam banyak kasus, ia juga melahirkan para martir, dan memberi pembenaran pada aksi-aksi balas dendam, karena otoritas negara juga bertindak berdasarkan motif pembalasan.

Proses hukuman mati biasanya butuh waktu panjang. Lalu apa jadinya, jika sang terpidana mati ternyata di penjara mampu merehabilitasi dirinya? Jika keluarga korban mau mengampuni dia? Sebagian terpidana mati mengubah pandangan hidupnya selama bertahun-tahun di penjara sambil menunggu eksekusi. Mereka belajar, mendalami banyak hal, berpaling kepada Tuhan. Banyak juga yang menulis buku dan menceritakan pengalamannya, agar orang lain tidak mengikuti jejak mereka.

Tapi pada terpidana yang tidak menunjukkan penyesalan semacam itu, dikurung sepanjang hidupnya di penjara menjadi cara paling efektif untuk mencegah kejahatan. Ongkosnya bagi terpidana sepanjang hidup terbukti lebih murah ketimbang eksekusi hukuman mati, yang sering menjadi proses hukum yang berkepanjangan dan mahal.

Alangkah lebih baiknya jika ongkos hukum yang mahal itu digunakan untuk tujuan lebih bermanfaat. Untuk membantu korban kejahatan misalnya atau untuk biaya penyuluhan mencegah penyebaran budaya kejahatan dan kekerasan yang makin marak dalam masyarakat modern. Argumen semacam ini sangat meyakinkan. Seharusnya aksi hukuman mati dihentikan. Tapi masalahnya, dalam waktu dekat ini praktik tersebut di sejumlah negara masih sulit dihentikan.