1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Porträt der jemenitischen Friedensnobelpreisträgerin Tawakul Karman

7 Oktober 2011

Tawakkul Karman dijuluki “Ibu Revolusi” di Yaman. Ia memperjuangkan demokrasi di negara yang masih didominasi laki-laki itu.

https://p.dw.com/p/12o37
Tawakkul Karman(Foto:Hani Mohammed/AP/dapd)
Tawakkul KarmanFoto: dapd

Perempuan berusia 32 tahun itu terlihat di banyak foto-foto pemberitaan tentang Yaman. Dengan megafon di depan mulutnya dan satu tangannya mengepal di udara, itulah Tawakkul Karman. Ia tergabung dalam partai oposisi Islah, giat memperjuangkan demokrasi dan hak azasi manusia di Yaman. Tidak hanya perempuan yang mengaguminya, tapi laki-laki juga mendukungnya. Tawakkul Karman lalu dijuluki sebagai "Ibu Revolusi".

Pada 2007 Tawakkul Karman menggelar aksi protes mingguan di depan kantor pemerintahan di Sanaa. Akibatnya, beberapa kali ia dipenjarakan. "Kami tidak takut," katanya awal Oktober ini dalam wawancara dengan harian Jerman Tagesspiegel. Kepulangan Presiden Ali Abdullah Saleh dari Saudi Arabia, setelah dianggap terusir oleh para demonstran anti pemerintah, dianggap Karman sebagai "hadiah dari surga". Katanya, "Dengan begitu, ia (Saleh –red.) tidak bisa lolos dari kami. Kami akan mengadilinya dan anaknya."

Prestasi Tawakkul Karman menjadi pucuk pimpinan gerakan demokrasi di Yaman, bisa dibilang prestasi luar biasa. Seperti halnya banyak negara Arab, Yaman tergolong negara yang konservatif. Kaum perempuan ditindas tradisi dan kerap diperlakukan sebagai warga kelas dua. Kasus kawin paksa gadis di bawah umur hampir setiap hari menghiasi halaman pertama surat kabar di Yaman. Sebagai penulis blog dan salah seorang pendiri organisasi "Jurnalis Tanpa Belenggu", Tawakkul Karman memperjuangkan nasib kaumnya. Perempuan berusia 32 tahun itu sejak lama memperjuangkan agar sedikitnya 30 persen posisi di kantor pemerintahan diisi oleh perempuan.

Hadiah untuk Revolusi Yaman




Reaksi pertamanya ketika menerima kabar ia memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian, Karman mendedikasikan hadiah itu untuk seluruh gerakan pembebasan di negara Arab. Ia juga mengatakan, hadiah itu isyarat berakhirnya era penguasa otoriter di kawasan. Komitee Nobel menilai Karman layak menerima hadiah karena perannya sebagai pendukung perubahan yang damai. Karman dan rekan-rekannya menjauh dari bentrokan antara pasukan penguasa Ali Abdullah Saleh dengan saingannya dari suku-suku yang membangkang.

Ibu tiga anak itu juga terancam keselamatannya. Pasukan pemerintah berulang kali menembaki para demonstran damai dari atap-atap gedung di ibukota. Karman sendiri beberapa kali menerima ancaman pembunuhan. Meski pun begitu, ia tetap optimis memandang masa depan. Kepada surat kabar Swiss, ia mengkritik negara barat yang mengatakan, "Akan terjadi perang saudara di Yaman". "Anda akan melihat, Yaman adalah negara yang beradab dan damai. Kami akan mengejutkan dunia."

Rainer Sollich/Luky Setyarini

Editor: Christa Saloh

(EPA/YAHYA ARHAB +++(c) dpa - Bildfunk+++)
Tawakkul Karman (kiri)Foto: picture alliance/dpa