1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia adalah Jakarta, Jawa dan Sisanya?

8 Mei 2017

Banyak orang Indonesia hanya sekedar bisa membayangkan betapa besarnya negaranya, tanpa pernah sadar bahwa di antara warga Indonesia itu sendiri terserak ratusan etnis berbeda. Ikuti opini Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/2cNJA
Indonesien Wahlkampf Gouverneur Jakarta
Foto: Reuters/Antara Foto/W. Putro

"Kalau saja dia orang Indonesia, gak akan dia berani macam-macam di Makassar,” ujar saya pada beberapa kawan kru produksi di Makassar tentang perilaku penuh tingkah dan semaunya seorang bintang televisi asal India di sebuah produksi film lokal di Sulawesi Selatan. Beberapa bulan lalu seorang sutradara asal Makassar mengajak saya bekerja sama membantunya mengerjakan sebuah film yang diangkat dari kisah rakyat, ia bilang pemeran utamanya adalah seorang bintang terkenal asal India yang di Indonesia menjadi sangat populer setelah muncul di seri Mahabharata.

Lalu demikianlah, saya berangkat ke tempat yang melahirkan leluhur saya dan menemukan bahwa orang di Sulawesi Selatan tidaklah seganas yang digambarkan oleh media-media nasional. Di Jakarta via televisi nasional yang tayang ke penjuru Nusantara, saya dan banyak warga Indonesia lainnya tentu mendapat kesan bahwa kota Makassar sangatlah brutal. Setiap demo yang terjadi nyaris selalu berujung pada kekerasan, mahasiswa sering berkelahi diantara sesamanya dan seterusnya dan seterusnya.

Penulis:  Andibachtiar Yusuf
Penulis: Andibachtiar Yusuf Foto: Andibachtiar Yusuf

Lewat media dan pencarian, banyak orang mengenal budaya Bugis-Makassar yang keras. Orang tahu ada budaya siri yang kurang lebih berarti ‘jika harga diri terganggu, maka layak memintanya kembali' kedua belah pihak bisa masuk ke dalam sarung dan bertarung di dalam sarung dengan membawa badik. Tentu sebuah duel yang adil, berdarah dan tak jarang mematikan.

Apa yang terjadi di ibukota seolah juga perlu dipedulikan seluruh bangsa?

Ini adalah kali pertama saya berada di sana dengan interaksi yang penuh bersama masyarakat lokal, berbagai usia dan beragam kalangan. Pertamakalinya juga saya berada disana dalam kurun lebih dari enam  hari sebagai orang biasa, bukan sebagai seorang mentor apalagi seorang sutradara yang dikenal di Jakarta.

Saya lalu menemukan kota Makassar yang berbeda. Memang saya pernah bermain futsal bersama kawan-kawan warga setempat, menghabiskan 6 porsi pallubasa srigala atau nonton PSM di Mattoangin, tetapi saya belum pernah menemukan standar sopan santun yang bagi saya  ada di jalur normal dan tak berbeda jauh dengan yang saya temukan di Pulau Jawa.

Media di Jakarta yang selalu berskala nasional dan punya kapasitas untuk menguasai peta informasi di tanah air memang adalah pusat dari segala informasi. Apa yang terjadi di ibukota seolah juga perlu dipedulikan oleh seluruh bangsa. Pemilihan Gubernur Jakarta yang praktis hanya menentukan nasib warga Jakarta dan penjuru kotanya seolah menjadi harus dipahami dan diperhatikan oleh seluruh negeri. Sementara wilayah-wilayah lain cukup dipahami sebagai bagian dari Indonesia.

Semua berpusat di Jakarta

Saya selalu menyebut Indonesia sebagai terbagi atas Jakarta, Jawa dan sisanya. Karena peta informasi sampai cara berbicara yang benar adalah apa yang disajikan oleh Jakarta. Musik sampai film-film nasional nyaris semua dikerjakan oleh sineas yang bermukim di Jakarta, mengambil setting dan lokasi di banyak tempat, namun tetap dengan perspektif Jakarta atau Pulau Jawa.

Jokowi datang dari Solo dan kemudian muncul di sebuah stasiun televisi berita swasta di Jakarta sebelum akhirnya meledak menjadi idola bangsa yang terus digosok licin rapi oleh tim komunikasinya. Kegemparan kisah Ahok vs Anies di Jakarta disiarkan langsung oleh seluruh stasiun televisi nasional yang semuanya beroperasi di Jakarta. Imbasnya, pemilik akun media sosial dimanapun berada (sampai Eropa) ikut latah membahas urusan kafir dan tak kafir ini. Semua merasakan dampaknya, merasakan permusuhannya yang lalu terjebak jadi personal….namun ironisnya tidak semua merasakan libur saat pencoblosan dilakukan.

Dua bulan berada di luar Jakarta semakin menegaskan definisi keindonesiaan berdasarkan geografis versi saya tadi. Di luar sana begitu tenang dan nyaman, berita dari Jakarta yang begitu pikuknya dan kisah-kisah dari luar Pulau Jawa yang melulu berbentuk pandangan turis melihat kawasan yang eksotis. Kekerasan yang digambarkan faktanya hanyalah gambaran rajinnya kontributor lokal. Banyak orang Indonesia hanya sekedar bisa membayangkan betapa besarnya negaranya, tanpa pernah sadar bahwa di antara warga Indonesia itu sendiri terserak ratusan etnis berbeda dengan kebiasaannya yang berbeda juga.

Penulis:

Andibachtiar Yusuf

@andibachtiar

Filmmaker & Traveller