1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Indonesia: Demokrasi Tanpa Toleransi

7 Juni 2012

Indonesia selama ini dilihat dunia sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim yang sukses menerapkan demokrasi. Belakangan, demokrasi yang baru mekar itu terancam oleh berbagai peristiwa intoleransi.

https://p.dw.com/p/15A41
Kelompok radikal adalah ancaman bagi demokrasi IndonesiaFoto: AP

Akhir Mei, Indonesia menjadi sorotan dalam sidang Kelompok Kerja Universal Periodic Review Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss. Penikaman terhadap seorang pendeta, penyiksaan atas tiga pengikut sekte minoritas hingga tewas, menimbulkan pertanyaan tentang demokrasi Indonesia.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, dicecar pertanyaan seputar meningkatnya penyerangan atas gereja dan kelompok minoritas. Duabelas tahun setelah lepas dari diktator, Indonesia menghadapi bentuk otoritarianisme baru yang lebih kompleks.

Tiga kali pemilihan umum demokratis tidak menjamin kebebasan di negeri berpenduduk mayoritas muslim Indonesia. Menguatnya konservatisme dan munculnya kelompok Islam radikal mengancam kelompok minoritas di negeri itu.

Indonesia Tak Lagi Aman

“Jujur saja, saya tidak lagi merasa cukup aman tinggal di Indonesia“ kata pendeta Albertus Patty, salah seorang pimpinan Persekutuan Gereja Indonesia PGI, organisasi Kristen terbesar di negara berpenduduk mayoritas muslim itu.

“Ada banyak kekerasan yang terjadi begitu saja tanpa upaya polisi atau pemerintah untuk mencegah“ kata Patty sambil menambahkan “Indonesia bukan lagi negara yang toleran.“

Sejak tahun 2011 ada lebih dari seratus gereja yang diteror. Tahun lalu di Solo, sebuah gereja dibom. Pada kejadian lainnya, seorang pendeta ditikam oleh kelompok Islam garis keras di kota Bekasi yang berjarak hanya 30 kilometer dari ibukota Jakarta.

Awal Mei, massa melempari umat Kristen yang sedang beribadah di sebuah gereja di Bekasi dengan kotoran manusia dan telur busuk. Di Provinsi Aceh yang menerapkan syariat Islam, tujuh gereja dipaksa tutup.

Indonesia memiliki aturan soal pendirian rumah ibadah agama. Kelompok Islam garis keras yang mengatasnamakan mayoritas sering menekan pemerintah agar tidak memberikan ijin atau bahkan menutup tempat ibadah dengan alasan penduduk sekitar yang beragama Islam keberatan.

Beberapa waktu terakhir, sejumlah provinsi dan kota di Indonesia memberlakukan hukum Islam yang dikenal sebagai Peraturan Daerah atau Perda Syariah. Pemberlakuan hukum Islam menurut pendeta Patty, telah mendiskriminasi dan menjadikan kelompok Kristen sebagai warga kelas dua.

Kelompok Islam radikal yang kerap melakukan kekerasan dan intimidasi kepada kelompok minoritas mendapatkan angin karena sikap masyarakat yang semakin konservatif. Sejumlah survey publik menunjukkan bahwa orang Indonesia semakin tidak toleran terhadap perbedaan. Tak hanya kepada pemeluk agama di luar Islam, tapi juga terhadap sekte-sekte yang ada di dalam Islam diantaranya kelompok Ahmadiyah.

Tragedi Ahmadiyah

Tahun lalu di internet beredar video yang memperlihatkan pembantaian atas tiga pengikut Ahmadiyah. Rekaman peristiwa yang dikenal sebagai “Tragedi Cikeusik” memperlihatkan seribuan orang dengan brutal menganiaya dan menyiksa pengikut Ahmadiyah. Tiga orang pengikut sekte itu tewas dalam peristiwa Cikeusik.

Ahmadiyah adalah sebuah sekte di dalam Islam. Jumlah pengikutnya di Indonesia sekitar setengah juta orang. Majelis Ulama Indonesia MUI sebuah organisasi ulama Islam konservatif, pada tahun 2005 mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa kelompok Ahmadiyah adalah aliran sesat.

Sejak itu kelompok ini menjadi sasaran persekusi kelompok garis keras. Kepada Deutsche Welle, juru bicara Jamaah Ahmadiyah Indonesia Mubarik Ahmad mengatakan sejak fatwa MUI keluar, intimidasi dan teror semakin sering dialami para pengikut sekte tersebut.

Beberapa saat setelah fatwa MUI, markas pusat kelompok Ahmadiyah diserang dan dirusak seribuan orang. Pemerintah Indonesia tidak mengambil tindakan tegas kepada para penyerang melainkan memilih menutup tempat itu.

Paling tidak, ada tiga Gubernur dan tujuh pejabat setingkat Bupati dan Walikota yang mengeluarkan larangan bagi jamaah Ahmadiyah. Mubarik mengaku resah karena intoleransi tidak cuma dilakukan kelompok garis keras, tapi juga oleh pejabat negara.

Suryadharma Ali, ketua Partai Persatuan Pembangunan PPP, partai Islam yang bergabung dalam koalisi pemerintahan, dalam kampanye pemilu tahun 2009, dia berjanji akan membubarkan sekte Ahmadiyah. Dan kini, sebagai Menteri Agama dia aktif melarang aktivitas jamaah Ahmadiyah.

Tak hanya itu, Menteri Agama Indonesia itu juga dekat dengan ketua Front Pembela Islam FPI Rizieq Shihab. Di Indonesia, FPI terkenal karena aksi-aksi intoleransi termasuk penyerangan gereja, kelompok Ahmadiyah hingga pertunjukan seni yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Demokrasi Tanpa Toleransi

Selama ini dunia memuji Indonesia yang dianggap bisa menjadi contoh bahwa demokrasi bisa berkembang di negara berpenduduk mayoritas muslim.

Tapi jika dilihat dari dekat, demokrasi Indonesia tidak semulus yang dilihat dunia. Intoleransi tidak hanya milik kelompok Islam garis keras yang jumlahnya kecil. Bahwa mereka yang paling aktif dan vokal mendiskriminasi kelompok lain: ya. Tapi sesungguhnya, cara pandang mereka didukung oleh publik yang lebih luas.

Demokrasi Indonesia berkembang dengan cara ganjil: pemilu bebas tapi tidak dengan keyakinan agama.

Andy Budiman

Editor: Agus Setiawan