1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Interpol Jadi Alat Politik

7 Agustus 2013

Organisasi polisi terbesar dunia Interpol sering disalahgunakan oleh sejumlah pemerintahan untuk melacak para lawan politik dan aktivis hak asasi manusia, demikian terungkap dari penyelidikan.

https://p.dw.com/p/19KZk
Foto: Fotolia/axentevlad

Organisasi polisi terbesar dunia Interpol sering disalahgunakan oleh sejumlah pemerintahan untuk melacak para lawan politik dan aktivis hak asasi manusia, demikian terungkap dari penyelidikan. Jumlah orang yang dicari Interpol meningkat lebih dari tiga kali lipat beberapa tahun belakangan, dan mereka yang dicari itu bukan hanya para tersangka penjahat.

Interpol mengeluarkan peringatan mengenai daftar ribuan “orang yang dicari” setiap tahun. Para ahli hukum pidana memperingatkan bahwa sejumlah negara anggota Interpol mempunyai catatan hak asasi manusia yang buruk dan sistem peradilan yang korup. Masalahnya organisasi itu tidak punya mekanisme efektif untuk mencegah negara-negara tersebut, atau bahkan penuntut individu, menyalahgunakan sistem Interpol.

Iran, Suriah, Sudan, Belarusia dan Zimbabwe -- semuanya secara luas dikecam karena pelanggaran HAM -- adalah anggota Interpol, dan setiap negara mempunyai daftar catatan merah dalam situs mereka. Catatan merah bukanlah surat penangkapan. Namun banyak negara menganggap itu sebagai dasar hukum yang cukup untuk mengeluarkan surat perintah penangkapan.

Jadi alat politik

“Peringatan mengenai “orang yang dicari Interpol“ bisa mempunyai efek pengaruh yang sangat buruk,“ kata Alex Mik dari organisasi Fair Trials International. “Orang-orang yang telah memiliki visa ditolak, memisahkan mereka dari keluarga selama berbulan-bulan dan menyebabkan mereka kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Pebisnis bisa kehilangan klien, dan jurnalis kehilangan kredibilitas. Orang-orang enggan bepergian karena takut ditangkap.“

Fair Trials International membantu sejumlah individu menghadapi pengadilan yang bukan di negara mereka. Organisasi ini bekerja dalam sejumlah kasus, dan mengangkat pertanyaan terkait catatan merah yang dikeluarkan Interpol.

”Sebagai contoh, aktivis dan jurnalis Rusia Petr Silaev ditangkap di sebuah hostel murah, diborgol selama lima jam di mobil polisi dan dipenjara selama lebih dari seminggu atas permintaan penyelidik di Moskow setelah keluarnya catatan merah,” kata Mik.

“Indonesia menggunakan sistem Interpol untuk melabeli Benny Wenda, tokoh kunci gerakan Papua merdeka, sebagai seorang teroris yang dicari dan mendiskreditkan kampanye politiknya.”

Kurang ahli HAM

Orang-orang dalam situasi ini tidak mempunyai pengadilan independen untuk meminta ganti rugi, mereka hanya bisa meminta penilaian oleh komisi yang didirikan oleh Interpol. Mereka yang ada di komisi itu adalah para pejabat pemerintah dan bukan para ahli hak asasi manusia.

Pada Februari 2013, organisasi Reporters Without Borders menyerukan pembatalan catatan merah Interpol atas wartawan Prancis Daniel Lainé. Catatan merah itu membuat Lainé tidak bisa mengerjakan pekerjaan jurnalistiknya di luar Prancis. Organisasi itu mengatakan kasus ini “punya semua tanda dibuat-buat, dengan tuduhan yang didasarkan bukti tertulis dari seseorang yang tidak pernah muncul di pengadilan.”

Juli 2012, Interpol mengeluarkan resolusi untuk memperbaiki sistem catatan merah untuk memastikan bahwa publikasi dan peredaran catatan merah dibuat dengan standar yang tinggi. Tapi menurut Fair Trials International, reformasi itu tidak banyak membawa perubahan.

Interpol adalah organisasi dengan 190 negara anggota dan mempunyai dana tahunan hampir 60 juta euro. Berdasarkan konstitusinya, Interpol diwajibkan untuk mematuhi “semangat Deklarasi Universal mengenai Hak Asasi Manusia“. Interpol sendiri tidak memberikan komentar atas masalah ini.

ab/hp (ips)