1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Irak Marah Tanggapi Vonis Haditha

26 Januari 2012

Vonis pengadilan militer AS terhadap serdadu pelaku pembantaian 24 warga sipil di Haditha menunjukkan dalam situasi perang tidak gampang membuktikan kesalahan.

https://p.dw.com/p/13q7I
Perwira marinir AS dalam proses di pengadilan militer Camp Pendelton.Foto: picture-alliance/ dpa

Vonis ringan terhadap serdadu yang bertanggung jawab atas pembataian Haditha, memicu kemarahan di Irak. Pemerintah di Bagdad menyatakan Rabu (25/01), akan mengambil langkah hukum, terkait vonis hukuman amat ringan yang dijatuhkan pengadilan militer AS, terhadap terdakwa serdadu pembantai 24 warga sipil di Haditha 19 November 2005.

Sersan Frank Wuterich, terdakwa satu-satunya dalam kasus Haditha, hanya divonis hukuman selama tiga bulan percobaan oleh pengadilan militer Camp Pendelton, di negara bagian AS California. Dakwaan terhadap tujuh tersangka lainnya yang diduga terlibat atau bertanggung jawab dalam kasus Haditha, bahkan dibatalkan.   

Irak Haditha Mordanklage gegen US-Soldaten Frank Wuterich
Sersan Frank WuterichFoto: AP

Jurubicara bagi PM Irak Nuri al Maliki, Ali Mussawi kepada kantor berita AFP mengatakan, hukumannya tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan. “Kami akan tetap memperjuangkannya lewat jalur legal, untuk menuntut hak warga kami yang menjadi korban penembakan semena-mena“, kata Mussawi tanpa merinci lebih jauh.

Tragis bagi AS dan Irak

Menanggapi vonis kontroversial kasus Haditha, jurubicara kementrian luar negeri di Washington, Victoria Nuland mengatakan, pembantaian 24 warga sipil itu tragis bagi kedua belah pihak, AS maupun Irak. Namun militer AS menarik pelajaran berharga dari kasus itu. “Setelah insiden Haditha, kementrian pertahanan memerintahkan pengkajian ulang secara lengkap dan menyeluruh, semua aturan bagi penugasan serdadu di Irak“, kata Nuland.

Dalam proses pengadilan, pembela Wuterich mengajukan argumen, insiden pembunuhan itu merupakan dampak dari situasi pertempuran yang bergerak amat cepat. Serdadu marinir meyakini, mereka diserang oleh musuh dan di setiap sudut mengancam bahaya maut. Sebelumnya, seorang serdadu tewas akibat ledakan sebuah bom rakitan.

Tembak dulu, baru tanya. Demikian perintah yang dikeluarkan sersan Frank Wuterich kepada tujuh anggota marinir anak buahnya, ketika menyerbu sejumlah rumah di Haditha tahun 2005, yang diduga tempat persembunyian kelompok perlawanan. Haditha, sekitar 200 km di utara Bagdad, dikenal sebagai kubu kelompok perlawanan Sunni.

Warga Haditha berang

Warga di Haditha, marah menanggapi vonis ringan terhadap pelaku pembantaian tsb. Pengacara hukum bagi para korban, Khalid Salman mengatakan, vonis tiga bulan penjara dengan percobaan bagi pembantaian 24 orang, adalah penghinaan terhadap kemanusiaan. Sejumlah warga Haditha mengatakan, vonis itu semakin mempertegas bukti, bahwa AS tidak menghargai hak asasi manusia di Irak.

Videoaufnahme von Massaker von Haditha, Irak
Rekaman video pembantaian Haditha.Foto: AP

Dalam kasus ini, pengadilan militer menghadapi situasi amat rumit. Para penuntut, setelah melakukan persiapan dan penyidikan selama beberapa tahun, tidak memiliki bukti memadai, untuk menjatuhkan sebuah vonis yang tidak meragukan.

Karena itulah, para penuntut memilih tindakan yang lazim dalam pengadilan di AS. Yakni menjalin sebuah kesepakatan kompromi dengan terdakwa. Wuterich mengaku bersalah dan dihukum ringan. Selain itu pangkatnya juga diturunkan. Wuterich sebelumnya meminta maaf pada keluarga korban pembunuhan, dan menegaskan ia bukan monster pembunuh.

Agus Setiawan/afp/rtr/ap

Editor : Edith Koesoemawiria