1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Ironi Perguruan Tinggi di Indonesia

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
15 September 2023

Apakah perguruan tinggi di Indonesia sudah jadi “aktor global” di dunia pendidikan, atau masih jadi “pemain lokal” yang terseok-seok diserbu arus perubahan dan kemajuan zaman? Ikuti opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/4W3EZ
Toga dan Topi Doktor yang melambangkan pendidikan tinggi
Ilustrasi: Toga dan Topi Doktor yang melambangkan pendidikan tinggiFoto: Rainer Unkel/Imago Images

Dengan jumlah perguruan tinggi (PT) yang mencapai 4000-an, Indonesia menjadi "produser” PT terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika Serikat (AS) dan India. Dari sekitar 4004 PT (data tahun 2022), 184 merupakan PTN (Perguruan Tinggi Negeri), selebihnya (3820) adalah PTS (Perguruan Tinggi Swasta). Sementara PT yang berbentuk universitas berjumlah 2595.

Data ini menunjukkan kalau masyarakat Indonesia gemar mendirikan PT, sama halnya dengan masyarakat AS, India, Brazil, atau Jepang. Cina dengan populasi lebih dari satu miliar mempunyai 2565 universitas, menempati ranking keempat di dunia setelah Indonesia yang berpenduduk 272 juta.

Sumanto Al Qurtuby adalah pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Jumlah PT yang banyak secara otomatis populasi pengajar (dosen) juga melimpah. Staf pengajar PT tercatat sekitar 316,912 (tahun 2022). Perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan juga sangat besar.

Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, anggaran pendidikan mencapai 20 persen (sekitar 608,3 triliun) dari APBN. Bandingkan dengan Malaysia misalnya yang hanya mengalokasikan sekitar 5 persen untuk sektor pendidikan. Anggaran beasiswa yang dialokasikan oleh pemerintah juga tergolong besar.

Menariknya atau ironisnya, meskipun dari aspek kuantitatif, yakni jumlah PT, pengajar, dan anggaran yang demikian besar, tetapi dari aspek mutu dan kualitas tergolong minim.

Sejumlah indikator

Ada beberapa indikator untuk melihat rendahnya kualitas PT kita. Misalnya, minimnya jumlah research output dalam bentuk karya ilmiah (buku akademik atau artikel jurnal) atau paten yang berhasil dihasilkan atau diproduksi. Kemudian sedikitnya PT yang berhasil masuk daftar "kelas dunia”. Bahkan hingga kini belum ada satupun PT yang masuk 200 besar dunia.

Dalam hal ini, Indonesia kalah jauh dengan Malaysia yang hanya memiliki 100-an PT, apalagi dengan Singapura yang cuma memiliki 30-an PT dan Australia yang hanya mempunyai 43 PT. Rendahnya minat PT berkualitas di LN untuk menjalin kerja sama riset dan pengembangan dengan PT di Indonesia (kecuali dengan segelintir "kampus mainstream” seperti UGM, UI, IPB, atau ITB) juga menjadi indikator ketidakpercayaan mereka terhadap mutu dan kualitas PT Indonesia.

Indikator lainnya adalah sepinya minat mahasiswa asing untuk studi di Indonesia. Jumlah mahasiswa asing di Indonesia hanya 6.000, kalah jauh dengan negara-negara tetangga.

Singapura memiliki 55.000, sedangkan Malaysia sekitar 170.000 mahasiswa asing. Bahkan dengan Vietnam pun kalah (tercatat ada sekitar 45.000), apalagi dengan Australia yang menjadi tujuan favorit mahasiswa asing.

Malaysia berhasil "mencuri perhatian” mahasiswa internasional, antara lain, karena mampu menjaga mutu dan kualitas pendidikan dengan biaya yang relatif terjangkau, selain menawarkan atau "menjual” keindahan, keteraturan, dan kerapian negaranya.

Selain sepinya minat mahasiswa asing, indikator lain adalah sepinya minat pemberi atau penyedia beasiswa asing, baik pemerintah atau swasta, untuk studi di PT Indonesia. Misalnya, Arab Saudi mempunyai King Abdullah Scholarship Program untuk mahasiswa yang ingin belajar di kampus-kampus luar negeri.

Dari ratusan ribu mahasiswa yang dikirim ke LN dengan beasiswa ini, tidak ada satupun yang dikirim ke Indonesia. Destinasi Asia Tenggara hanya Singapura dan Malaysia. Selebihnya adalah AS, Kanada, Australia, Cina, Hong Kong, Jepang, Korsel, Rusia, dan negara-negara Eropa. Bukan hanya Arab Saudi, negara-negara kaya dan maju lainnya (AS, Australia, Jepang, Inggris, Cina, Perancis, dlsb) juga melakukan hal serupa. Program beasiswa yang mereka sediakan bukan untuk studi di PT Indonesia.

Secara tidak sadar, banyaknya masyarakat Indonesia yang bangga studi di LN juga cermin dari minimnya mutu dan kualitas PT Indonesia. 

Sejumlah faktor penyebab minimnya mutu

Ada sejumlah faktor yang menyebabkan minimnya mutu dan kualitas PT di Indonesia. Yang sering kita dengar adalah para dosen terlalu banyak dibebani tugas mengajar secara berlebihan, selain tugas bimbingan mahasiswa yang menumpuk dari S1-S3, sehingga mengurangi jatah waktu penelitian dan penulisan karya akademik. Energi habis untuk mengajar banyak mata kuliah (pelajaran).

Selain itu, tugas administrasi yang berjibun juga turut melemahkan energi dosen untuk riset dan menulis. Beban dosen semakin bertambah banyak dengan adanya berbagai kegiatan non-akademik yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia pendidikan. Terakhir, gaji dan insentif yang kecil juga turut mengurangi produktivitas dalam berkarya. Lantaran gaji kecil, banyak dosen yang akhirnya menyambi menjadi "pengamen” atau "pedagang eceran” untuk menjaga agar "dapur tetap ngepul.”

Meskipun faktor-faktor tersebut valid, legitimate, dan reasonable, persoalan minimnya mutu dan kualitas PT Indonesia tidak bisa disederhanakan semata-mata dengan masalah overdosis mengajar, beban administrasi yang berlebihan, banyaknya kegiatan yang tidak relevan dan menunjang pendidikan, atau minimnya gaji dan insentif.

Minimnya kultur akademik

Saya menduga faktornya lebih dalam dari sekedar urusan administrasi, gaji dan lainnya, yaitu minimnya atau bahkan tidak adanya "kultur akademik” (academic culture) di PT Indonesia. Minimnya "kultur akademik” ini bisa dilihat dari sejumlah hal. Misalnya, kebiasaan belajar, kebiasaan membaca, etos intelektual, spirit penelitian, dan tradisi penulisan.

Karakter PT Indonesia adalah "subsistence education,” yakni sebuah pendidikan yang dibuat untuk sekedar memenuhi "kebutuhan dasar” agar tetap "eksis” sebagai manusia, bukan untuk pengembangan riset canggih atau penemuan teori baru misalnya.

Banyaknya pendirian PT bukan berarti secara otomatis menunjukkan banyaknya minat riset, pengembangan sains, dan penggalian pengetahuan untuk kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara. Banyak PT didirikan hanya untuk mencari dan mengumpulkan uang (sebagai lumbung atau sumber finansial) atau sekadar "kebanggaan” kelompok, selain guna meneguhkan dan "menjaga eksistensi” identitas sektarian primordial keagamaan. Karena itu jangan heran jika melihat banyak PT yang didirikan asal-asalan dengan sumber daya terbatas atau pas-pasan.

Pertanyaan refleksif yang penting dan patut untuk direnungkan adalah: kenapa tingkat literasi masyarakat Indonesia sangat buruk dan salah satu yang terendah di dunia? Padahal negara ini memiliki PT yang sangat banyak, belum lagi ditambah puluhan ribu lembaga pendidikan non-PT (misalnya sekolah, madrasah, atau pesantren).

Jika gaji kecil atau berjibunnya tugas mengajar dan administrasi yang dijadikan sebagai alasan, kenapa para dosen yang sudah mencapai level guru besar (GB) pun dengan gaji yang lumayan dan beban mengajar dan administrasi yang kurang, banyak sekali di antara mereka yang tidak produktif dalam berkarya ilmiah bahkan tidak berkarya apapun? Di sisi lain, para dosen non-GB yang kebetulan semangat menulis pun didasari untuk kenaikan pangkat dan pengumpulan kum (kredit), bukan antusiasme riset akademik untuk menggali pengetahuan baru.

Indikator lain dari minimnya kultur akademik adalah sepinya kampus dari aktivitas akademik (selain rutinitas belajar-mengajar di kelas) seperti diskusi hasil riset atau proposal penelitian, seminar atau konferensi, kajian ilmiah, dan seterusnya. Kalaupun mereka menggelar acara-acara ini, motifnya sering kali juga bukan bersifat akademik tetapi, misalnya, untuk menghabiskan anggaran, sekedar ada kegiatan, atau kebanggaan menggelar acara.

Kampus-kampus yang kebetulan melakukan kerja sama dengan PT asing juga banyak didorong oleh motivasi nonakademik, misalnya agar para dosen bisa jalan-jalan atau wisata gratis ke LN. Kalau yang menjalin kerja sama dengan PT di Arab Saudi biasanya ada tambahan niat agar bisa sekalian umrah ke Makkah atau "wisata rohani” ke Madinah. Jadi, mentalitas para dosen kurang lebih sama dengan anggota dewan atau pejabat negara.

Minimnya kultur akademik juga bisa dilihat dari dinamika kampus. Para dosen lebih banyak "berpolitik” dan berebut jabatan kampus ketimbang melakukan kerja-kerja akademik. Akibatnya PT lebih mirip parpol atau ormas ketimbang lembaga pendidikan.

Revitalisasi Tri Dharma Perguruan Tinggi

Apa yang saya sampaikan ini bukan bermaksud sarkas tetapi sekadar mengingatkan kembali, barang kali PT dan civitas akademika sudah lupa, tentang spirit dan pentingnya Tri Dharma Perguruan Tinggi yang perlu terus-menerus dipupuk dan dipraktikkan dengan tulus dan serius agar kelak PT Indonesia bisa menjadi "lokomotif peradaban” dan "aktor global” di dunia pendidikan, bukan "pemain lokal” yang terseok-seok diserbu oleh arus perubahan dan kemajuan zaman.

Sumanto Al Qurtuby

Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.