1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ironisnya jadi Bangsa Besar

5 Juni 2015

Saat masuk ke Kamboja dari Thailand, blogger DW Andibachtiar Yusuf bisa merasa bangga sebagai bangsa Indonesia karena tidak dihambat birokrasi. Sebuah ironi dari klaim Bangsa Besar yang kurang dikenal di mancanegara.

https://p.dw.com/p/1FcBF
Australische Einreisestempel in einem deutschen Pass
Foto: imago/Paul von Stroheim

“Tenang saja lha mbak, ketika saya datang ke negara Anda, praktis saya diminta membayar jumlah uang yang kurang lebih sama kok, bahkan dengan proses yang lebih rumit,” ujar saya enteng pada Gladys, wanita asal Jerman yang masih kesal di perbatasan Thailand-Kamboja. Ia yang sebelumnya menggerutu bahwa perbatasan ini sangat korup semakin tenang saat saya jelaskan bahwa apa yang kami—bangsa Asia Tenggara umumnya—alami saat akan masuk negaranya kurang lebih juga sama menyebalkannya, bahkan dengan durasi waktu lebih lama……tentu saja dengan cara pandang berbeda.

Menerobos Kamboja via jalan darat bagi saya adalah pengalaman yang menyenangkan. Inilah perbatasan ke sekian yang saya terobos dengan moda transportasi darat. Tiap bangsa memang selalu punya kekhasannya masing-masing. Misalnya, saat kembali ke Hongaria dari berlibur di Austria, petugas perbatasan Hongaria bisa mengoper-oper paspor saya karena tampaknya”malas” mengecek paspor hijau ala Indonesia. Saat masuk Malaysia dari Singapore saya agak kaget karena busnya bisa saja tertukar karena memang mereka tak akan menunggu.

Tapi masuk Kamboja via darat dari jalur Trat menujung Koh Kong memberi pengalaman yang “menyenangkan” bagi saya. Saya senang akhirnya sebagai pemilik paspor dari negara terbelakang macam Indonesia bisa merasa superior di tempat yang memang tak jauh dari tanah kelahiran. Di situ mereka sama sekali tidak banyak meminta saya ini dan itu selain 100 Baht (sekitar Rp 40.000) sebagai biaya mencap paspor dan biaya yang mereka sebut sebagai biaya “karantina” senilai 1 US Dollar.

Dengan ringan saya sih bayar saja, karena toh di tanah air biaya-biaya selip-menyelip memang sudah biasa. Di perbatasan Indonesia-Timor Leste di Atambua bahkan cuma sekedar menulis data kita ke kartu imigrasi, anak-anak singkong itu juga minta 1 US Dollar, belum jika mereka sampai membawakan tas kita dari satu titik ke titik lain. Tapi bangsa Jerman atau Eropa lainnya atau yang memang lebih beradab lainnya memang bukan saya yang orang Indonesia ini. Mereka jelas protes keras saat nyaris semua uang yang diminta itu sama sekali tak ada di data administrasi.

Lebih menarik lagi, bangsa kulit putih ini dikenakan lagi biaya visa elektronik sebesar 1500-2000 Thai Baht (kurang lebih Rp 600.000-Rp 800.000). Walau menurut sebagian dari bule-bule itu mereka tidak lagi perlu keluar biaya, tetap saja mereka “diketok” dengan nilai yang lumayan itu. Saya? Saya sih santai-santai saja, bayar “karantina” ketawa-ketiwi dengan penduduk lokal dengan bahasa Tarzan, masukkan paspor ke petugas, bayar 100 Thai Baht dengan ringan saat ditodong dan berlalu menuju warung sambil senyam-senyum saat seorang warga lokal berkata “Orang ini dari Indonesia, dia tak perlu visa seperti kalian,” sambil menunjuk pada saya.

Apa yang mereka rasakan bisa jadi sama persis dengan yang selama ini saya rasakan jika sedang membaca persyaratan pengurusan visa. Betapa bangsa-bangsa besar itu meminta kita untuk “memamerkan” apapun yang kita punya. Seorang kawan pernah menyerahkan kopi sertifikat kepemilikan rumah “Biar mereka tau kalo gue bakal balik lagi kesini,” ujar sang kawan dengan mimik serius.

Perbatasan dan negara paria

Melihat sisi lain kehidupan di dunia ini memang adalah impian banyak orang. Namun, bumi bukanlah sebuah entitas tanpa perbatasan. Tiap bangsa memiliki aturan hukum dan perundangannya sendiri, tiap bangsa itu membentuk negara yang kemudian memberikan aturannya sendiri tentang bagaimana bangsa lain bisa berkunjung ke negerinya.

Saya datang dari sebuah negara yang memang berpopulasi besar namun sayangnya dianggap kerdil dalam pergaulan dunia. Saya pernah merasakan kesalnya diajak seorang kawan asal Malaysia menyaksikan pertandingan Sepakbola di Bratislava, ibukota Slovakia saat kami sama-sama masih bekerja di Budapest, Hongaria. Ia meyakinkan saya bahwa tidak ada ketentuan visa di perbatasan, dan saya lupa bahwa ia bukan orang Indonesia karena kemampuan berbahasa Melayu saya yang cukup baik dan keinginan dia untuk memakai bahasa Indonesia setiap kami berinteraksi. Lalu di perbatasan saat ia dengan wajah khawatir masuk Slovakia, saya dengan muka bete harus kembali ke terminal bus di areal Hongaria.

“Yusuf is looking for more lesser being,” ujar Khavn de la Cruz, kawan baik saya filmmaker asal Philipine pada kawan kami dari Swedia yang keheranan karena kami berdua terus bertukar info tentang negara mana yang paspor kami bisa langsung masuki.

Orang selalu berkata bahwa Indonesia adalah negeri besar, bangsa besar dan potensi besar. Sementara saya selalu merasa bahwa ucapan-ucapan khas Bung Karno ini sebenarnya sudah harus kita lupakan. Benar bahwa kita punya potensi, benar juga bahwa kita besar, tapi apa iya bangsa lain memahami dan mengetahui itu? Buktinya mereka masih aja sering bertanya “Maaf, Indonesia tu dimana?” Saya sudah lama berhenti kesal jika mereka tak tahu dimana negara saya, tapi di Koh Kong siang itu saya merasa senang karena bisa merasa jauh lebih superior dari para bule Eropa. Pasalnya mereka harus mengeluarkan biaya jauh lebih banyak untuk masuk ke sebuah negara, sementara saya tidak.

Andibachtiar Yusuf - Filmmaker & Constant Traveller

@andibachtiar