1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jakarta Akan Hilang dari Peta?

23 Februari 2011

Tinggal tunggu waktu, Jakarta akan tenggelam beberapa tahun lagi. Itulah perkiraan sejumlah pakar pertanahan dan LSM lingkungan tentang kota Jakarta yang sesak dengan hutan beton.

https://p.dw.com/p/10OV4
JakartaFoto: AP

Mereka mengamati tiap tahun permukaan tanah di Jakarta amblas hingga 12 sentimeter akibat penyedotan air tanah yang terus menerus. Sementara, ruang resapan air hujan di Jakarta tak mampu mengisi kembali air tanah yang digunakan tiap harinya. Sayang, upaya pencegahan masih minim. Padahal Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo pernah janji untuk mencegah Jakarta tenggelam.

Haris, Sinta, Agus, dan Robin adalah warga yang sudah tinggal puluhan tahun di Jakarta. Mereka meyakini Jakarta akan hilang dari peta dua puluh tahun lagi. haris berkata: "Istilahnya, bumi di bawah Jakarta itu kan kropos. Akhirnya amblas. Amblas karena sumber daya air di dalam banyak digunakan oleh penduduk. Hubungannya dengan gedung pencakar langit, justru itu, menyebabkan banjir itu."

Sinta mengatakan : "Percaya sih kalau Jakarta bakal ilang. Sekarang aja, ujan kecil dimana-mana udah banjir. Udah nggak keliatan tuh jalanan dari satelit. Gedung-gedung besar itu kan kebutuhan airnya banyak. Dia pasti gali sumur lebih dalam dari orang sekitarnya. Air tanah kesedot ke gedung bertingkat semua.

Sementara Agus berujar : "Jadi pabrik-pabrik itu, ngambil berapa ribu meter itu kedalamannya. Jadi air pada keambil semua. Menurut saya sih begitu mas. Mungkin dunia ini sudah tua begitu."

Bagiamana dengan Robin? "Yakin tak yakin. Soalnya, kata Pak Gubernur Fauzi Bowo saja, bentuk tatanan ini kayak baskom. Tiap tahun turun berapa senti, berapa senti. Nah, itu dia. Tapi kemungkinan pemerintah tak akan tinggal diam."

LSM Pemerhati Lingkungan Walhi, menilai Pemerintah Jakarta saat ini masih setengah hati menanggapi perkiraan Jakarta menghilang dari peta di 2030. Kata Aktivis Walhi, Deddy Ratih, Pemerintah DKI Jakarta belum punya terobosan baru untuk konservasi bangunan dan pembukaan ruang terbuka: "Sangat memprihatinkan. Jadi tak ada upaya untuk mengembalikan fungsi-fungsi kawasan resapan air. Kemudian bagaimana membuat regulasi, misalnya di komplek perumahan, di kawasan gedung bertingkat, membuat sumur pori. Memang dilakukan. Tapi, itu kecil. Dan itu kan projectnya pemerintah. Yang penting bagaimana mendorong, pemilik-pemilik gedung besar, wajib memiliki itu. Jadi bisa dalam bentuk regulasi."

Sebelumnya, Walhi dan sejumlah pakar hidrologi, memperkirakan Jakarta akan lenyap dari peta pada 2030. Mereka mencatat terjadi penurunan tanah di Jakarta tiap tahunnya, mencapai 12 sentimeter. Hal ini disebabkan penyedotan air tanah di Jakarta secara besar-besaran oleh gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen, dan pabrik. Sehingga, tanah makin amblas. Sementara, ruang terbuka di Ibu Kota tak mencapai 10 persen dari luas Jakarta.

Pemerintah DKI Jakarta memperkirakan penggunaan air tanah oleh gedung-gedung dan perumahan warga sudah melampaui cadangan air tanah yang ada di Jakarta. Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta mencatat, total penggunaan air tanah resmi oleh gedung-gedung besar sekitar 60 persen dari potensi air tanah, atau sekitar 21 juta meter kubik pertahun.

Kepala Bidang Hukum BPLHD Jakarta, Ridwan Panjaitan mengemukakan: Tapi kalau banyak pencurian yang tidak tercatat, mungkin saja sudah melebihi 52 juta meter kubik. Kan itu yang jadi perhatian kita, untuk kita lakukan pengawasan dan penertiban air bawah tanah. Jadi izin yang diberikan adalah 4011, dan itu kurang lebih 21 juta meter kubik pertahun. Yang kita curigai ada sumur illegal. Kemudian juga, usaha-usaha kecil seperti showroom, cuci mobil.

BPLHD Jakarta mengklaim telah memberi surat peringatan kepada 100-an gedung dari 500 bangunan yang diduga punya sumur tanah illegal. Sementara, 4 gedung dikenakan sanksi pidana dengan jumlah denda lebih dari 4 miliar rupiah.

Namun, langkah Pemerintah DKI Jakarta ini dinilai tak transparan. Institut Hijau Jakarta mencatat, penggunaan air tanah di Jakarta sejak 2005 melebihi batas normal. Batas normal pengambilan air tanah sebanyak 52 juta kubik pertahun. Tapi telah disedot sebanyak 66 juta kubik pertahun. Direktur Institut Hijau Jakarta, Slamet Daryoni mengatakan, Pemerintah DKI Jakarta belum bisa mengontrol hal ini: "Kita defisit pengambilan air tanah mencapai 66,6 juta meter kubik. Setiap tahun, sejak tahun 2005. Tak ada control yang signifikan terhadap sumur pantek yang mereka lakukan. Sehingga, seharusnya mereka diijinkan hanya satu sumur pantek, mereka bisa membuat 3 sampai 4 sumur pantek."

Pembangunan gedung perkantoran, pusat perbelanjaan, apartemen, dan jalan-jalan raya terus melaju. Ruang terbuka di Ibu Kota makin terhimpit. Pembangunan infrastruktur, ini membebani tanah Jakarta yang makin berongga karena airnya terus diisap. Pakar Hidrologi, Ahmad Munir menyebutkan, Jakarta hilang dari Peta, dimulai dari wilayah Jakarta Utara dan Pusat.: "Lebih banyak penurun tanah. Penurunan muka tanah, sekaligus penurunan muka air tanah, itu ada di Jakarta Utara dan Pusat yang kita lihat bangunannya cukup tinggi. Jakarta Selatan itu sebagian. Di Gatot Subroto yang beban bangunannya tinggi itu tetap kena."

Pakar Hidrologi, Ahmad Munir menyarankan agar Pemerintah DKI Jakarta memprioritaskan dua wilayah di Jakarta dari terjangan banjir, yaitu Utara dan Pusat. Karena kata dia, banjir Rob yang kini melanda Jakarta Utara makin meluas dari kurun waktu 5 tahun terakhir. Penyebabnya, hutan bakau yang berfungsi menahan gelombang laut di pesisir pantai utara Jakarta terus berkurang. Semula sepanjang 18 kilometer, kini tersisa 3 kilometer. Sementara proyek reklamasi pantai utara antara pemerintah dan pihak pengembang, sepanjang 32 kilometer tetap berlanjut.

Muhammad Irham

Editor : Ayu Purwaningsih