1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalan Buntu di Bangkok

27 April 2010

Pemerintah memperingatkan, tindakan lebih keras bisa diambil untuk mengakhiri kerusuhan yang makin berkembang di pusat kota Bangkok. Raja Bhumibol tampil di televisi.

https://p.dw.com/p/N7qJ
Demonstran anti pemerintah lakukan doa bersama di Bangkok (26/04)Foto: AP

Para pengunjuk rasa anti-pemerintah mengakibatkan kekacauan lalu lintas Bangkok, Selasa (27/04). Demonstran menumpuk ban mobil di peron di stasiun kereta Childlom, di lokasi protes mereka, tampaknya karena kuatir tentara akan menggunakan sistem rel kereta untuk menyerang mereka dari atas. Perusahaan pengelola terpaksa menutup semua rute selama beberapa jam dengan alasan keamanan, karena demonstran mengancam melempar ban ke rel kereta.

Sementara krisis mengancam Thailand terbelah dua, antara demonstran baju merah pendukung mantan PM Thaksin dan warga yang bosan dengan aksi protes tersebut, Raja Bhumibol tampil di televisi Senin malam (26/04). Raja berusia 82 tahun pujaan rakyat itu tidak secara langsung mengomentari kebuntuan politik di negerinya. Ia menghimbau para hakim yang baru disumpah untuk bertugas dengan jujur dan menjadi teladan bagi rakyat.

Harapan akan terobosan kandas akhir pekan lalu, ketika PM Abhisit Vejjajiva menolak usulan demonstran untuk menggelar pemilu dalam tempo 3 bulan. Ia mengatakan pemilu baru bisa berubah menjadi ajang kekerasan. Abhisit juga menolak untuk bernegosiasi di bawah ancaman.

Wakil PM Suthep Thuangsuban menyatakan, pemerintah tidak akan bersikap lunak lagi menghadapi demonstran yang tidak menggunakan cara-cara damai. Sebaliknya para pengunjuk rasa tidak gentar, juga dalam mempertahankan lokasi yang mereka duduki di kawasan bisnis Bangkok. Bersama ribuan demonstran baju merah lainnya, sudah berpekan-pekan Orathai 'Dldetsha berkemah di sini.

Perempuan berusia 51 tahun itu menuturkan, "Di sini saya mencuci pakaian dan di sini saya mengumpulkan sampah. Di bawah sini tempat menaruh baju. Di tiang ini saya menjemur baju yang saya cuci sambil mandi. Di belakang situ tempat tidur gantung, ada orang yang memasangnya untuk saya. Di bawah banyak serangga, jadi lebih nyaman di atas dengan tempat tidur gantung."

Para demonstran anti-pemerintah menciptakan kota di dalam kota. Dengan perbatasan sendiri, polisi sendiri, juga hukum dan infrastruktur sendiri. Pemerintah setempat menyediakan fasilitas sanitasi, terpisah untuk lelaki dan perempuan, juga layanan kesehatan gratis.

Orathai 'Dldetsha berasal dari kota Mae Sot, Thailand utara. Di sana ia bekerja di salon kecantikan dengan upah 25 sampai 50 ribu rupiah perhari. Kini, tanpa pekerjaan, ia tak punya penghasilan. Di kamp demonstran baju merah, kota di dalam kota, tersedia makan malam gratis. Orathai mengaku sudah tak punya apa-apa.

Ia mengatakan, "Saya sudah menggadaikan semua perabotan milik saya. Pemilik rumah mengancam akan mengeluarkan semua karena saya tak mampu membayar uang sewa. Tapi buat saya sekarang tidak ada bedanya."

Krisis tujuh pekan di Bangkok belum menunjukkan tanda-tanda keluar dari kebuntuan. Orathai 'Dldetsha, satu dari ribuan demonstran baju merah, bertekad bertahan sampai titik darah penghabisan.

RP/HP/afp/rtr