1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalan Panjang Sepak Bola

Andibachtiar Yusuf22 Juli 2013

Apa yang bisa kita dapatkan dari sebuah pertandingan persahabatan dengan tim terkenal? Andibachtiar Yusuf, sutradara sekaligus pengamat Sepak Bola membagi pandangannya tentang arti bermain melawan tim-tim terkenal.

https://p.dw.com/p/19BeF
Foto: Fotolia/Melinda Nagy

“Kalian ini bikin malu!!!” maki Oscar Tabarez malam itu di ruang ganti Stadion Gelora Bung Karno. “Kamu Diego, masih ingat nama bandara tempat kita mendarat dua hari lalu?” dengan ragu Diego Godin menggeleng. “Kamu Martin, ingat nama ibukota negara ini?” tanya Oscar lagi, Martin berpikir sejenak dan berkata dengan ragu “Jakarta bukan ya?”

Dengan berapi-api Oscar Tabarez memberi semangat timnya “Kita ini nomer 4 di Piala Dunia 2 bulan lalu, kalian pernah dengar negara ini main sepak bola? Pernah tahu siapa tadi itu penyerang mereka yang bikin gol ke gawang kita, si nomor 20 yang katanya legenda disini. Tunjukkan kalian pantas ada di papan atas dunia, sana main serius!!” Kemudian kita semua tahu, Uruguay bermain seperti yang sesungguhnya mereka tampilkan di Afrika Selatan dua bulan berselang. Permainan rapat, passing cepat, gerak sinergis antar pemain yang luar biasa sampai tusukan-tusukan yang saya yakin tak pernah dihadapi pemain nasional kita sebelumnya.

Lalu di sisa pertandingan 45 menit kedua di malam itu, kita melihat bagaimana Nova Arianto yang selalu gagah menjaga Persib Bandung harus kewalahan digempur habis-habisan. Boaz Solossa dan duetnya Bambang Pamungkas yang selalu disebut sebagai tandem maut saat itu, terpaksa harus sering berada tak jauh dari kotak penalti…..untuk bertahan!

“Kekalahan yang sungguh memalukan!” demikian tulis banyak akun twitter malam itu juga. Segala cacian ditujukan terutama pada Bambang Pamungkas yang dianggap sebagai kartu mati di aksinya malam itu. Kekalahan telak 1-7 setelah sebelumnya unggul 1-0 dianggap sebagai aib yang memalukan bagi bangsa Indonesia oleh para pencinta sepak bola kita.

Begitu? Ah saya rasa tidak pantas untuk terlalu berlebihan pada hasil macam itu. Ilustrasi narasi Oscar Tabarez di depan para pemainnya di ruang ganti adalah murni rekayasa saya yang bisa saja betul-betul terjadi malam itu. Sejauh apa sih sebenarnya popularitas Indonesia di peta dunia? Apalagi di sebuah negara yang nun jauh di sisi bumi itu. Kita tak ada di peta teknologi dunia, di peta sinema internasional praktis nama Gareth Evans bisa jadi lebih besar dari Indonesia itu sendiri, apalagi di sepak bola.

Dunia lebih mengenal Trinidad & Tobago dengan Dwight Yorke dan kawan-kawannya yang pernah ke Piala Dunia 2006. Lebih tahu pada Kaledonia Baru negeri kelahiran Cristian Karembeu yang bersama Perancis pernah menjadi raja dunia dan Eropa. Bahkan bisa jadi lebih tahu pada Vietnam atau Thailand, Malaysia bahkan Myanmar yang memang sering sekali menjadi lokasi shooting banyak film dunia.

Silakan klik untuk lanjutan artikel ini.

Halaman pertama artikel ini

Uruguay datang saat itu dengan predikat peringkat 4 Piala Dunia 2010. Mereka hanya bisa ditaklukkan dengan susah payah oleh aksi Non-Total Football milik Belanda di semifinal. Tim ini praktis adalah tim dengan penampilan paling diingat orang di turnamen musim panas saat itu. Sebaliknya Indonesia.. Hmmmmppppphhhhh.. Sebelum memulai catatan itu ada baiknya saya menghela nafas dulu.

Negeri kita yang sungguh tercinta ini sudah gugur jauh-jauh hari dari Pra-Kualifikasi di tahun 2009, setahun sebelum kejuaraan berlangsung. Dibandingkan dengan para wakil Asia saja kekuatan kita sama sekali tidak sebanding. Katakanlah kekuatan terlemah saat itu adalah Korea Utara yang walau terus kalah di penyisihan, percayalah bahwa permainan mereka ada 2-3 tingkat di atas kita.

Saat itu seingat saya Indonesia ada di peringkat dunia 130an, sementara Uruguay ada di 30 besar. Prestasi terbaik mereka adalah juara dunia dua kali di tahun 1930 dan 1950, sementara prestasi terbaik kita adalah lolos Sub Grup 3B Asia di penyisihan untuk turnamen 1986. Pemain terbaik kita paling jauh bahkan hingga hari ini adalah berada di Amerika Serikat dan di sebuah tim divisi 2 Liga Belgia, itupun dengan jumlah yang bisa dihitung jari. Pemain Uruguay? Kayaknya tak perlu lagi dirinci.

Kemudian tim nasional terus dirundung kekalahan dari tim-tim yang memang berada di level lebih tinggi. Dengan berbagai sebutan, mulai dari Indonesia XI sampai Indonesia Dream Team tak pernah satupun kita meraih kemenangan. Belanda, Inter Milan, LA Galaxy, Valencia, Arsenal, Liverpool atau (nanti) Chelsea adalah tim yang memang pada tempatnya harus mengalahkan mereka. Daya sepak bola mereka tak hanya jauh diatas kita, pembinaan mereka juga jelas-jelas lebih terstruktur di segala tingkat usia mulai dari 4-6 tahun (bandingkan dengan kita yang bahkan pemain nasionalnya saja bisa ditemukan sedang bermain di jalan oleh seorang pelatih).

Saya paham bahwa kita bukan hanya haus tontonan sepak bola bermutu kelas tinggi, tapi juga prestasi besar dari tim nasional negerinya. Tapi alangkah naifnya jika kita lalu selalu menganggap partai-partai eksibisi atau pemanasan pra-musim tim-tim besar Eropa itu sebagai pencapaian. Semua itu tak lebih dari sekedar pemanasan sekaligus promosi bagi lawan yang memang jauh lebih matang sebagai tim, sementara bagi kita adalah ajang memahami bahwa kita memang jauh tertinggal sembari mengasah mental tanding para pemain Indonesia itu sendiri.

Memahami lebih dalam bahwa sepak bola tak bisa dibangun hanya dalam satu, dua bahkan tiga tahun. Ada proses panjang yang dilewati oleh Lukas Podolski, Steven Gerrard, Luis Suarez dan segala bintang lainnya untuk bisa mencapai kehebatan mereka saat ini. Itulah yang lebih harus dipahami saat berjumpa dan bertanding melawan mereka, bukan malah mengharapkan kemenangan. Bukan karena kita tak pantas, tapi karena kita tak punya modal bernama kemampuan dasar dalam bermain.

Twitter: @andibachtiar