1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jalan Tol Menuju Bencana Polusi?

14 Januari 2013

Modernitas punya kutukan tersendiri. Kemajuan ekonomi harus dibayar mahal dengan kerusakan lingkungan. Polusi udara Cina, kini melewati batas membahayakan, dan Indonesia sedang mengikuti jalan yang sama.

https://p.dw.com/p/17JWj
Foto: DW

Peringatan itu datang dari Cina. Pertengahan Januari, polusi udara Beijing dan kota-kota utara melewati tingkat yang membahayakan: udara kota dilaporkan terasa seperti debu arang dan asap kendaraan.

Beijing adalah metafora tentang paradoks kemajuan. Ibukota sebuah negara dengan kekuatan ekonomi nomor dua terbesar dan memiliki tingkat pertumbuhan tertinggi di dunia. Gedung pencakar langit menjulang, jutaan mobil lalu lalang diantara belantara beton.

Tapi modernitas punya kutukan tersendiri. Kemajuan ekonomi harus dibayar mahal dengan kerusakan lingkungan.

Jalan itu pula yang diam-diam sedang kita lalui.

Bersama Cina, Indonesia adalah negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi tertinggi dunia. Sama dengan Beijing, Jakarta juga haus kendaraan.

Sekitar 14 juta kendaraan lalu lalang di Jakarta. Jumlah itu terus bertambah, karena rata-rata setiap hari, lebih dari tiga ribu kendaraan terjual. Indonesia adalah negara ketiga dunia yang paling banyak menggunakan kendaraan bermotor setelah Amerika dan Cina.

Dan itu ada harganya: riset Komite Penghapusan Bensin Bertimbel mengungkapkan bahwa pencemaran udara Jakarta sepanjang 2011 hingga 2012 mencapai 60 mikro gram per meter kubik: tiga kali lipat melampaui batas yang ditetapkan badan kesehatan dunia, WHO.

Tahun 2010, warga Jakarta harus membayar 38 triliun Rupiah untuk biaya pengobatan penyakit, yang diakibatkan udara yang kotor.

Ironisnya, di tengah fakta-fakta yang mencemaskan itu, di Jakarta kini sedang berlangsung debat tentang proyek penambahan enam ruas jalan tol baru.

Proyek itu bisa melempangkan jalan bagi penambahan kendaraan baru. Jika dilaksanakan, maka artinya kita sedang membangun jalan bebas hambatan menuju bencana polusi.

Andy Budiman