1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jejak Ali Moertopo Dalam Pilkada Jakarta

18 Mei 2017

Polarisasi masyarakat berdasarkan sentimen primordial bukan fenomena baru. Praktik seperti itu pernah terjadi masa Orde Baru, saat Operasi Khusus. Ikuti opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/2dB4l
Indonesien Wahlen Jakarta
Foto: picture alliance/NurPhoto/D. Roszandi

Pilkada Jakarta usai, dan siapa pemenangnya sudah kita ketahui bersama. Sungguh pilkada yang sangat melelahkan, terutama dari segi psikis. Masyarakat Jakarta dan sekitarnya, seolah tersandera dengan isu primordial yang tiada habisnya. Ini seolah anomali dalam  tujuh dasawarsa di alam kemerdekaan, bagaimana isu primordial dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga terjadi polarisasi tajam di masyarakat.

Model polarisasi masyarakat berdasarkan sentimen primordial sebenarnya bukan fenomena baru. Praktik seperti itu pernah terjadi masa Orde Baru, saat Ali Moertopo bersama lembaga (intelijen) yang dia pimpin, yaitu Opsus (operasi khusus), melakukan penggalangan atau rekayasa terhadap kelompok yang dikategorikan Islam garis keras, yang tujuan akhirnya untuk melemahkan kelompok itu sendiri.

Penulis:  Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Opsus memang akhirnya pupus, bersamaan dengan meninggalnya Ali Moertopo pada Mei 1984, namun model rekayasa dan pembentukan opini gaya Opsus, telah menjadi genre tersendiri dalam politik Indonesia, termasuk yang kita saksikan dalam pilkada Jakarta hari ini. Opsus dulu terkenal dengan jaringannya yang sangat kuat, dan tentu sebagian jaringan itu masih aktif sampai sekarang.

Dampak Persaingan Elite

Bila di masa Orde Baru, kita akan lebih mudah melakukan konfirmasi, karena setiap insiden skala besar selalu dihubungkan dengan Opsus, terlepas dari benar-tidaknya. Seingat saya, Ali Moertopo jarang sekali memberi pernyataan secara terbuka pasca peristiwa, entah membenarkan atau mengingkari. Ali memang intelijen sejati, dia membiarkan publik untuk menebak-nebaknya sendiri.

Kegalauan publik baru terasa, sesudah Ali Moertopo  meninggal, ternyata insiden atau peristiwa kekerasan masih saja terjadi, seperti kasus Tanjung Priok (1984) dan peledakan Candi Borobudur (1985). Masyarakat hanya bisa bertanya-tanya, siapa lagi ini yang bermain, adakah pemain baru, mengingat pemain yang lama sudah meninggal.

Memang pertanyaan itu tidak pernah terjawab, karena figur yang dianggap penerus estafet kepemimpinan Opsus,  yaitu Benny Moerdani, saat itu justru sedang berjaya,  menjabat Panglima ABRI (Panglima TNI) merangkap Pangkopkamtib. Menjadi tidak logis, ketika pertanyaan itu diarahkan ke Benny. Masih belum clear sampai sekarang, apakah Benny masih mengikuti gaya seniornya, merekayasa kasus untuk kemudian ditumpasnya sendiri.

Asumsi selama ini mengatakan, bahwa setiap konflik horizontal yang terjadi selama ini merupakan dampak dari persaingan di tingkat elite. Seperti yang dilakukan Opsus dulu, lembaga ini merekayasa berbagai kasus atau peristiwa, sebagai bentuk intimadasi pada kelompok atau pihak yang berpotensi melawan Soeharto. Keberadaan Opsus dulu adalah residu, yang kiranya cukup sekali saja dilahirkan.    

Imajinasi Intelijen

Dalam dunia intelijen, Ali Moertopo ibarat pendekar, ilmunya sangat tinggi, jadi dia bisa menggabungkan segala jurus pamungkas agar misinya berhasil. Tradisi intelijen Indonesia banyak diwarnai oleh dua orang tokoh, yaitu Kolonel Zulkifli Lubis dan Kombes (Pol) M Omar Qatab (ayah komedian Indro Warkop). Warisan terpenting Zulkifli Lubis adalah konsep intelijen tempur (combat intelligence), sementara Omar Qatab lebih sebagai "intelijen masyarakat”, yakni kegiatan yang memonitor potensi bahaya dalam masyarakat.

Dari segi kelembagaan, jejak mereka juga masih tampak. Bais TNI misalnya, lebih condong pada masalah intelijen tempur, meskipun ada direktorat khusus yang "mengawasi” masyarakat. Sementara konsep "intelijen masyarakat” rintisan Omar Qatab mewujud pada Baintelkam (Badan Intelijen Keamanan) Polri. Nama lembaga intelijen kepolisian bentukan Omar Qatab, awalnya dulu bernama Pengawas Aliran Masyarakat, nama ini  menggambarkan fungsinya yang bergerak di tengah masyarakat.

Bila kita cermati, kegiatan Ali Moertopo bersama Opsus dulu, lebih dekat pada konsep  "Pengawas Aliran Masyarakat”, dengan kata lain Ali Moertopo banyak mengadopsi konsep Omar Qatab. Sementara pada mulanya Ali Moertopo sebenarnya lebih banyak berdinas di bidang intelijen tempur. Adalah Yoga Soegomo (mantan Kepala Bakin) yang banyak berjasa membentuk Ali sebagai intel tempur  andal. Singkatnya, Ali Moertopo mampu menggabungkan jurus dari tiga suhu sekaligus: Zulkifli Lubis, Omar Qatab, dan Yoga Soegomo.

Sekitar dua tahun lalu, satuan Sandi Yudha (unit intelijen) Kopassus merilis prinsip sebagai pegangan anggota dalam bertugas: "mengubah lawan menjadi kawan, dan kawan menjadi saudara”. Menurut salah seorang unsur pimpinan Kopassus, prinsip ini harus dibaca, kemenangan hakiki anggota Sandi Yudha adalah bila berhasil menaklukan lawan tanpa ada tindak kekerasan sekecil apapun. Prinsip ini juga sesuai dengan yang dulu pernah dikatakan Letjen (Purn) Sutopo Yuwono (Kepala Bakin 1970-1974): petugas intelijen tidak usah main pukul atau main tangkap.

Prinsip Sandi Yudha di atas, saya kira adalah imajinasi yang luar biasa, yang bahkan bagi kalangan CSO (civil society organization) penggiat demokrasi dan HAM sekalipun sama sekali belum terpikirkan. Bila Ali Murtopo memiliki imajinasi untuk menggabungkan jurus dari tiga suhu sekaligus, ternyata generasi muda Kopassus juga memiliki kemampuan imajinasi setara, bahkan mungkin lebih tinggi, jadi masyarakat bisa lebih tenang.

Harapan Masyarakat

Secara ringkas bisa dikatakan, bahwa lembaga intelijen, baik yang sipil (BIN), maupun di bawah TNI atau Polri, diharapkan mampu mendeteksi dini setiap bahaya yang mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Dalam bahasa umum, bahaya adalah kejadian (kondisi) yang apabila dibiarkan berpotensi menjadi gangguan, sedangkan gangguan adalah sudah tahap berbahaya. Cara bertindak juga berbeda, bahaya ditangani dengan preventif, yang menjadi domain lembaga intelijen.

Sekadar ilustrasi, saling serang antara dua kelompok berdasar ikatan primordial, adalah gangguan. Sedang ceramah di rumah ibadah yang membahas agama atau keyakinan lain, merupakan bahaya. Agar bahaya tidak naik ke tahap gangguan, satuan intelijen memberikan informasi pada satuan atau dinas lain untuk ditindaklanjuti, seperti Sabhara, Brimob atau reserse,  bila di bawah Polri, yang memang memiliki wewenang represif. 

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu. (ap/yf)


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis