1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jepang Tercengang Akibat Rencana Ubah Konstitusi

Julian Ryall22 Februari 2013

Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe terus mendorong perubahan konstitusi, walaupun ada kekhawatiran, amandemen akan kembalikan Jepang ke masa rezim militer yang tutup diri di awal tahun 1900-an.

https://p.dw.com/p/17k2d
Japanese Prime Minister Shinzo Abe gestures during a news conference at his official residence in Tokyo, Friday, Jan. 11, 2013. The Japanese Cabinet approved a fresh stimulus spending of more than 20 trillion yen ($224 billion) on Friday, rushing to fulfill campaign pledges to break the world's third-biggest economy out of its deflationary slump. (Foto:Itsuo Inouye/AP/dapd)
Japan Shinzo AbeFoto: AP

Sejak Partai Demokrat Liberal (LDP) dibentuk tahun 1955, partai itu telah beberapa kali menyerukan pengkajian ulang dan amandemen konstitusi. Bagi mereka, konstitusi Jepang dipaksakan atas bangsa itu oleh sekutu setelah Perang Dunia II berakhir. Sekarang, hampir 70 tahun setelah konstitusi disahkan, PM Shinzo Abe mendapat dukungan mayoritas majelis rendah di parlemen Jepang dan diperkirakan akan mendapat dukungan hampir sebanyak itu dari majelis tinggi pertengahan tahun ini.

Ia sudah mengumumkan, langkah pertama yang akan diambilnya adalah mengubah prosedur untuk amandemen konstitusi. Menurut Lawrence Repeta, profesor bidang hukum pada Universitas Meiji, langkah ini bisa menjadi batu landasan bagi "kuasa pemerintah yang lebih besar atas rakyat, dan mengurangi proteksi bagi hak-hak individu."

HAM Terancam

"Jika rencana ini disetujui, Jepang berarti menolak kecenderungan zaman yang mengarah pada penjagaan hak asasi manusia dan tanggungjawab pemerintah," demikian Repeta.


Bersama sejumlah pakar hukum lainnya, Repeta mempelajari usulan amandemen konstitusi dan menemukan beberapa hal yang mengkhawatirkan. Misalnya pasal 97, yang menjamin hak asasi manusia bagi seluruh rakyat akan dihilangkan sepenuhnya. Sebaliknya, rakyat akan diwajibkan untuk mendemonstrasikan "hormat kepada bendera dan lagu kebangsaan" dalam konstitusi baru. Sebaliknya, dalam pasal baru, 19-2 dinyatakan, "Tidak ada orang yang boleh mencari, memiliki atau menggunakan informasi tentang orang lain." Ini adalah peraturan baru yang bisa digunakan untuk menekan kebebasan pers. Di samping itu juga ada pembatasan kebebasan menyatakan pendapat.

Tintenfeder und Schriftzeichen © Jesús Arias - Fotolia.com
Gambar simbol. Perubahan konstitusi dan konsekuensinya.Foto: Fotolia/Jesús Arias



Kembali ke 1930

Masako Kamiya, profesor hukum di Universitas Gakushuin menyatakan dugaan, bahwa pemerintah menginginkan cara pandang Jepang seperti di awal tahun 1930-an. Ia menambahkan, ada anggota LDP yang berpendapat, cara pandang di masa itu tidak buruk. "Masyarakat harmonis, warga muda menjaga tingkah-laku mereka dan menghormati warga yang lebih tua. Peraturan berjalan seperti didefinisikan pemerintah dan penguasa." Demikian ditambahkan Kamiya.

Di situs internetnya, LDP menyatakan sebagai penjelasan, "dalam mempersiapkan usulan, kami mengkaji ulang formulasi yang terdengar seperti terjemahan dan peraturan yang tampaknya berdasar pada teori hak-hak alam." Ditambahkan juga, "Hak-hak dibentuk secara bertahap lewat sejarah, tradisi dan kebudayaan di tiap masyarakat." Selanjutnya dinyatakan, " Jadi kami percaya, peraturan menyangkut hak asasi manusia harus merefleksikan sejarah, kebudayaan dan tradisi Jepang."

Profesor Repeta menyatakan, ada alasan kuat untuk khawatir. Di samping masalah hak asasi manusia, "Terutama, amandemen konstitusi menyangkut kekuasaan pemerintah atas rakyatnya dan pengurangan proteksi bagi hak-hak individu."