1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jerman Cari Peluang Investasi di Indonesia

3 Oktober 2011

Asia bagi perekonomian Jerman selama ini lebih merujuk pada Cina dan India. Namun sejak krisis Asia, kejayaan Indonesia mengundang investasi perusahaan skala menengah Jerman yang rela menghadapi persaingan yang ketat.

https://p.dw.com/p/12kuX
Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta
Bundaran Hotel Indonesia, JakartaFoto: DW

Selamat datang di sebuah pabrik kecil di Jakarta Selatan. Empat hingga lima alat pengasah ditangani dua mekanik yang sehari-hari menggunakan mesin dengan presisi luar biasa terhadap mata gergaji. "Kami mengasah sekitar 25 gergaji perhari. Berarti di bawah 500 gergaji diperbaiki, diperbaharui atau matanya digantinya di pabrik ini," ujar Bonifatius Bobby, manajer Leitz Indonesia. Sebuah perusahaan skala menengah yang bermarkas di Oberkochen, Jerman. Perusahaan yang terkenal sebagai pembuat mesin spesifik untuk industri kayu. Di Indonesia saja, sekitar 150 perusahaan pembalakan kayu berskala internasional adalah klien Leitz.

Seorang mekanik mengasah mata gergaji di pabrik Leitz di Jakarta
Seorang mekanik mengasah mata gergaji di pabrik Leitz di JakartaFoto: DW

"Bisnis Leitz di Indonesia mulai tahun 2004. Pertumbuhan bisnisnya cukup baik karena di Indonesia pengerjaan kayu menjadi bisnis yang sangat bagus. Dari segi pangsa pasar, Leitz teratas. Kalau dibandingkan seperti Toyota dengan Mercedes, Leitz adalah Mercedes," tukas Bobby.

Jerman jamah beragam sektor

Leitz menjadi salah satu dari sekitar 300 perusahaan Jerman yang aktif di pasar Indonesia. Jochen Sautter dari Pusat Industri dan Perdagangan Jerman di Jakarta memaparkan, "Jenis mesin Jerman lainnya juga ada di Indonesia. Saat ada proyek infrastruktur, mesin-mesin untuk mengebor terowongan atau membangun jembatan. Perusahaan kimia juga memiliki bisnis besar disini. Begitu juga dengan industri otomotif. Segmen mobil mewah sangat dihargai disini. Jangkauan industrinya sangat luas."

Suasana di salah satu cabang BMW di Jakarta
Suasana di salah satu cabang BMW di JakartaFoto: DW

Indonesia terdengar menggiurkan bagi perusahaan Jerman karena tidak seperti banyak negara lainnya di Asia, perekonomian Indonesia dalam 10 tahun terakhir bisa dibilang kuat. Booming konsumsi domestik, kelas menengah yang terus tumbuh, pendapatan per kapita dalam 12 tahun terakhir naik dari 2100 menjadi 3700 Dolar. Jan Rönnfeld, ketua Kamar Dagang Jerman-Indonesia (EKONID) memberi tiga alasan mengapa investasi asing marak di Indonesia.

"Pertama, Indonesia menjadi salah satu dari sejumlah ekonomi besar yang mengalami pertumbuhan positif, 4.5 persen saat itu, di tengah krisis ekonomi tahun 2008-2009. Poin penting yang kedua adalah Indonesia sebagai anggota G20. Ketiga, kebijakan makro ekonomi yang sangat baik dalam beberapa tahun terakhir. Hasilnya terlihat sekarang pasar saham dan nilai mata uangnya sangat kuat," tandas Rönnfeld.

Kanselir Jerman Angela Merkel (paling kiri baris kedua) berdiri di belakang Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono
Kanselir Jerman Angela Merkel (paling kiri baris kedua) berdiri di belakang Presiden Indonesia Susilo Bambang YudhoyonoFoto: AP

Sisi negatif Indonesia

Namun di luar data ekonomi yang fantastis, Indonesia masih bergelut dengan banyak masalah. Dan kebanyakan di skala internal. Seperti lemahnya sektor pendidikan yang berimbas pada politik. Menurut Rönnfeld, menteri-menteri di Indonesia hingga dua level hierarki dibawahnya sangat berpendidikan, tapi pada level kerja yang sesungguhnya tidak ditemukan keahlian yang dibutuhkan. Sang ketua EKONID juga mengemukakan perkembangan infrastruktur yang jauh tertinggal dan tidak mampu mengikuti pertumbuhan ekonomi.

Korupsi yang masih menjamur juga menjadi pertimbangan investasi perusahaan Jerman di Indonesia. Di luar semua itu, perusahaan Jerman harus memiliki nilai tambah untuk dapat menembus pasar Indonesia. Bonifatius Bobby menjelaskan, "Persaingan di pasar Indonesia sangat sangat ketat. Karena setelah krisis, konsumen di Indonesia sangat pemilih kalau berhubungan dengan harga. Mereka selalu membandingkan dengan produk Cina atau Taiwan, atau merek pesaing utama yang memiliki pabrik di Malaysia. Sesuatu yang tidak dimiliki Leitz karena berproduksi di Jerman. Dampaknya sangat besar terhadap harga. Sulit untuk bersaing."

Manajer Leitz Indonesia, Bonifatius Bobby, tengah mengamati salah satu mesin di pabrik
Manajer Leitz Indonesia, Bonifatius Bobby, tengah mengamati salah satu mesin di pabrikFoto: DW

Stabilitas menjadi poin penting

Pasca krisis Asia akhir tahun 90-an, banyak perusahaan Jerman dan perusahaan Barat lainnya berpaling dari Indonesia dan memilih Cina. Perlahan Indonesia merebut kepercayaan kembali. Dalam 2 tahun terakhir, volume perdagangan Jerman dengan Indonesia terus bertambah. Indonesia dengan potensi pertumbuhan yang besar mulai keluar dari bayang-bayang Cina. Dibanding macan Asia Tenggara lainnya, Indonesia memiliki keunggulan yang jelas. Yakni pertumbuhan ekonominya dapat diandalkan. Setidaknya menurut Jochen Sautter, "Perekonomian Indonesia memiliki karakter yang stabil. Tidak sering terjadi perubahan yang radikal. Ciri yang cukup khas adalah strategi yang konsisten, menekankan stabilitas serta kontinuitas. Jika Indonesia suatu hari tiba di laju pertumbuhan 6 hingga 7 persen, bisa diharapkan kalau level tersebut akan bertahan untuk waktu yang cukup lama."

Thomas Latschan/Carissa Paramita

Editor: Luky Setyarini