1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi Kobarkan Nasionalisme Hukuman Mati

Hendra Pasuhuk26 Februari 2015

Presiden Jokowi mengobarkan sentimen nasionalisme dan mendapat dukungan publik dengan isu hukuman mati. Tapi upaya penegakan hukum dan HAM mulai diabaikan.

https://p.dw.com/p/1Ei5U
Indonesien Präsident Joko Widodo zu Besuch in Malaysia
Foto: picture-alliance/dpa

Keputusan Presiden Jokowi untuk melaksanakan eksekusi mati secara massal kepada terpidana mati narkoba, sebagian besar warga asing, memicu bangkitnya sentimen nasionalisme yang luas di kalangan masyarakat Indonesia.

Indonesia antara lain mendapat kritik tajam dari Brasil, Belanda dan Australia, yang memohon agar warganya tidak dieksekusi dan dihukum seumur hidup saja. Tanggapan-tanggapan kritis Perdana Menteri Australia Tony Abbott, terutama ketika ia mengaitkan permohonan pembatalan eksekusi mati dengan bantuan Australia dalam bencana tsunami di Aceh, disambut berbagai kalangan dengan aksi dan tagar #KoinUntukAustralia di berbagai daerah.

Menjawab kritik dari luar negeri, Presiden Joko Widodo menegaskan di Istana Negara, "Jangan ada yang intervensi masalah eksekusi mati, karena itu adalah kedaulatan hukum kita, kedaulatan politik kita."

Hukuman mati bagi terpidana narkoba memang isu yang populer di Indonesia. Politisi dari berbagai partai sering menggunakan isu itu dalam pemilu dari tingkat daerah sampai tingkat nasional.

Eksekusi mati menyelesaikan masalah narkoba?

Minggu lalu, Indonesia menarik pulang Duta Besar RI di Brasil Toto Riyanto, setelah Presiden Brasil Dilma Rousseff menunda secara mendadak penyerahan surat mandat (credential) di Istana Kepresidenan Brasil.

Brasil memang berupaya keras untuk menyelamatkan nyawa warganya, Rodrigo Gularte, yang terancam eksekusi mati di Indonesia. Di Indonesia saat ini ada sekitar 130 terpidana mati, sebagian dari mereka sudah ditahan lebih 10 tahun di penjara.

Dilma Rousseff
Presiden Brasil Dilma RousseffFoto: Reuters/U. Marcelino

"Jokowi mungkin berhasil menyulut nasionalisme, tapi menurut saya sikap tegasnya itu berangkat dari kesalahpahaman, bahwa eksekusi mati bisa menyelesaikan masalah narkoba," kata Tobias Basuki, pengamat politik CSIS di Jakarta.

Presiden Jokowi memang mengutip data BNN dan menyebutkan, setiap hari lebih dari 50 orang mati karena penyalahgunaan narkoba. Jumlah pengguna narkoba juga terus naik, mencapai 6 juta orang tahun ini.

Bukan solusi

Kelompok aktivis HAM yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Menolak Hukuman Mati menyatakan, praktik hukuman mati sangat berpotensi menjadi pelanggaran HAM, terutama karena sistem peradilan di Indonesia masih sangat korup.

"Dari tingkat kepolisian, sampai lembaga peradilan, kalau Anda punya uang, Anda bisa membayar untuk bebas," kata aktivis HAM Poengky Indarti. "Sementara pengedar kecil dijatuhi hukuman mati, para gembong sindikat narkoba bisa bebas," lanjutnya.

Poengky juga mempertanyakan bagaimana Indonesia mau menyelamatkan nyawa warganya yang terancam hukuman mati di luar negeri. "Kita sendiri menerapkan hukuman mati. Ini membuat posisi kita jadi sulit," katanya.

Rafendi Djamin, Utusan Khusus Indonesia untuk urusan HAM di Komisi HAM ASEAN (AICHR), mengimbau Jokowi untuk fokus pada upaya pemberantasan korupsi di lembaga penegak hukum, yang jadi masalah utama dalam penanggulangan perdagangan narkoba.

"Sistem peradilan masih sangat kacau. Kami sedang berusaha membenahinya. Tapi dengan sistem peradilan kacau begini, bagaimana kita bisa percaya bahwa kita tidak membunuh orang yang salah? Ini tragedinya sekarang," kata Rafendi Djamin kepada radio publik Amerika, NPR.

hp/yf (dpa, afp, npr)