1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jokowi Hadapi Tantangan Sebenarnya

Grahame Lucas (as)28 Januari 2015

Citra Joko Widodo sebagai politisi bersih membuat ia dibandingkan dengan Barack Obama. Sekarang, setelah 100 hari menduduki jabatan presiden, Jokowi menghadapi tekanan untuk memenuhi janjinya. Komentar Grahame Lucas.

https://p.dw.com/p/1ERx8
Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti

Saat menjadi gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi mendapat predikat sebagai pejabat yang merakyat dengan gaya blusukannya yang khas. Dengan meniti karir politik dari bawah, “Mr. Clean” begitu julukan media barat, mampu meroket meraih jabatan puncak di negeri yang dipenuhi politisi korup dan politik memecah belah.

Kini, 100 hari setelah menduduki jabatan presiden di negeri berpenduduk 250 juta orang itu, berjuang agar momentum seperti mottonya Obama "Yes We Can" dapat terus bergulir, menghadapi beragam tantangan. Serupa dengan Obama yang dijuluki presidennya rakyat kebanyakan, Jokowi juga menanggung beban harapan rakyat kebanyakan yang terlalu berat dan sulit diwujudkan. Sebagai presiden Indonesia pertama yang tidak memiliki akar di zaman rezim Suharto, para pendukungnya mengharapkan keajaiban dari Jokowi.

Akan tetapi, sejak kampanye calon presiden di tahun 2014, sudah muncul kekhawatiran terkait kurangnya pengalaman politik Joko Widodo di panggung politik nasional, dimana kubu elit politik memainkan bola panas sesuai dengan kepentingan masing-masing. Memang benar, Jokowi tidak pernah mengatakan bahwa membenahi perekonomian dan penumpasan korupsi, yang jadi prioritas programnya, akan jadi tugas mudah. Tapi juga cukup fair, jika mengangap bahwa Jokowi tidak pernah mengantisipasi, betapa sulitnya tugas utama tersebut, jika ia sudah sampai di puncak kekuasaan.

DW 60 Jahre Grahame Lucas
Grahame Lucas kepala redaksi South-East Asia DWFoto: DW/M. Müller

Walau begitu, presiden Jokowi berulang kali telah merasakan pahitnya realita politik. Di negara-negara demokratis, masa pasca pemilihan selalu merupakan saat membayar utang janji saat kampanye. Sekaligus kesempatan bagi presiden yang beru terpilih untuk menggalang dukungan baru yang lebih luas.

Tapi konstelasinya bagi Jokowi sangat rumit. Memang PDI-Perjuangan menominasi dia sebagai kandidat partai itu untuk maju sebagai calon presiden. Tapi di sisi lainnya, ketua PDI-Perjuangan, mantan presiden Megawati Sukarnoputri juga bukan mitra erat yang benar-benar mendukung sepenuhnya. Selain itu, Jokowi harus berusaha menepis tudingan publik, bahwa dia sebetulnya hanya boneka dari penguasa yang sebenarnya di belakang layar.

Artinya, Mr.Clean harus mengotorkan tangannya dalam proses politik dangan sapi yang carut marut. Susunan Kabinet pemerintahan Jokowi merefleksikan balas jasa politik kepada Megawati Sukarnoputri sekaligus menunjukkan nepotisme yang jauh lebih luas ketimbang perkiraan. Hal itu memicu kekecewaan besar di kalangan pendukungnya.

Lebih parah lagi, ketika Jokowi berusaha meraih dukungan dari kalangan internal partainya PDI-P, justru bola panas yang harus ia tangkap, yang menjerumuskannya pada krisis terberat pertama pada jabatannya. Jokowi mengalami nasib sial, atau sejumlah lainnya melontarkan argumen "bodoh" dengan menyetujui nominasi Budi Gunawan, jenderal polisi bintang tiga yang dikenal "dekat" dengan Megawati, untuk menduduki jabatan Kapolri.

Pada poin ini, sebetulnya presiden bisa bertindak tegas dengan membatalkan nominasi. Tapi Jokowi tidak melakukan langkah ini. Malahan secara naif ia menyerahkan tema ini kepada DPR yang dikuasai partai-partai penentangnya, dengan harapan parlemen akan menolak nominasi. Sebaliknya dari yang diharapkan, DPR justru mendukung secara aklamasi pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri.

Beberapa hari setelah DPR menerima secara aklamasi, Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi. Tapi sebetulnya Jokowi juga sudah tahu, bahwa Budi Gunawan sudah diamati KPK selama 5 tahun terkait rekening gendut pejabat Polri.

Spiral krisis makin memburuk, ketika Bareskrim Polri menangkap wakli ketua Bambang Widjojanto, dengan tuduhan memberikan kesaksian palsu di bawah sumpah dan menjadikannya tersangka. Babak baru sengketa Cicak versus Buaya itu membuat citra presiden makin compang-camping dan membuat Jokowi makin sulit memainkan pengaruhnya. Krisis terus mengguncang.

Tapi terlepas dari kasus pencoreng citra ini, adalah tidak fair jika melontarkan argumen bahwa awal karirnya sebagai presiden. Disaat orang ramai membicarakan kecelakaan AirAsia yang menewaskan 162 penumpang dan awaknya, Jokowi mendemonstrasikan kepiawaiannya dalam memimpin. Ia mengambil alih koordinasi pencarian dan evakuasi serta memerintahkan pengkajian ulang aturan keselamatan penerbangan.

Tindakan positif lainnya adalah kebijakan mencabut subsidi BBM, yang amat membebani anggaran negara yang bukan rahasia lagi, merupakan lahan subur untuk penyelewengan. Kebijakan ini, "untungnya" didukung anjloknya harga minyak mentah di pasar dunia. Namun harus disadari, jika harga minyak kembali naik, presiden akan kembali dimaki rakyat.

Langkah lainnya yang diacungi jempol oleh rakyat di dalam negeri adalah penenggelaman kapal asing pencuri ikan serta eksekusi hukuman mati 6 penyelundup narkoba, lima diantaranya warga asing. Walau begitu keputusan eksekusi mati itu dikritik sejumlah negara, terutama yang warganya dihukum mati.

Kini terdapat sinyal lain yang memicu harapan. Ketegangan dengan oposisi di DPR kelihatan mulai mengendor dan konsensus politik akan digalang. Hanya jika hal itu terwujud, Jokowi akan mampu memulai menggerakkan reformasi vital tanpa menggerogoti popularitasnya.

Walau begitu, semua rencana kerja reformasi itu amat tergantung dari kesepakatan revisi anggaran negara yang akan dibahas parlemen Februari mendatang. Pertanyaan besar saat ini adalah, apakah momentum "Yes We Can" Jokowi itu mampu meloloskan dia dari ujicoba berat di awal masa jabatannya sebagai presiden.