1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kaitan Daging dengan Perkembangan Otak

Jens Hahne
19 Maret 2022

Ketika leluhur kita di zaman purba menjadi pemakan daging, organ pencernaan mengecil. Energi yang tersisa mendorong pertumbuhan otak. Begitu salah satu teorinya.

https://p.dw.com/p/46te7
Gambar menunjukkan lukisan kera dan manusia
Grafiti yang menggambarkan perkembangan Homo Sapiens di zaman purbaFoto: Winfried Rothermel/picture alliance

Sebetulnya, kita, manusia, bisa mengalami nasib sama seperti dinosaurus, yaitu punah. Tapi kita sekarang masih eksis. Jadi apa yang membedakan kita dari dinosaurus? Yang terutama adalah: manusia mengembangkan otaknya menjadi lebih kuat dan produktif.

Itu keuntungan besar dalam proses evolusi. Tapi harus dibayar mahal. Ahli paleoantropologi Philipp Gunz mengatakan, otak adalah organ yang sangat energetik dan rumit. “Sebagai spesies, manusia harus mampu memenuhi kebutuhan energi otak yang sangat besar. Karena walaupun volumenya hanya beberapa persen dari volume tubuh, otak perlu 25% energi kita selama 24 jam sehari, dan tujuh hari sepekan."

Oleh karena itu timbul pertanyaan dari mana datangnya energi ini? Mengapa otak kita bisa berkembang pesat sampai bentuknya sekarang? Itulah yang diselidiki ahli paleoantropologi, Philip Gunz herausfinden.

Energi dari konsumsi daging

Untuk menjawab teka-teki perkembangan otak manusia, ada baiknya menengok makanan hewan yang paling mirip manusia, yaitu kera besar. Jika dibandingkan dengan makanan manusia, tampak jelas bahwa kera besar hanya mengkonsumsi tumbuhan. Itu jugalah yang awalnya dilakukan nenek moyang kita.

Tapi itu kemudian berubah. Kera besar yang diberi nama Lucy hidup sekitar tiga juta tahun lalu, dan dia memakan daging, walaupun jarang. Itu terbukti dari tulang hewan yang memiliki takik yang unik. Takik pada tulang hewan itu berasal dari peralatan dari batu, yang digunakan nenek moyang kita untuk melepas daging dari tulang.

Kemudian, sekitar dua setengah juta tahun lalu, konsumsi daging meningkat dengan sangat cepat. Philipp Gunz, ahli paleoantropolosi, "Kami menduga, keturunan manusia setelah itu mulai secara aktif memburu hewan. Setiap kali berburu, mereka juga semakin sukses, semakin ulung, sehingga bisa mengkonsumsi lebih banyak daging.”

Dengan demikian mereka mendapat energi dalam jumlah lebih besar. Oleh sebab itu, otak manusia juga semakin besar. Artinya, itu perkembangan yang mereka picu sendiri. Akhirnya, kita punya volume otak sangat besar jika dibandingkan dengan ukuran tubuh. Demikian dijelaskan Philipp Gunz.

Manusia jadi semakin hebat dalam berburu, dengan metode efektif, juga strategi dan senjata. Otak kita terus berkembang. Tapi apa urusannya daging hasil perburuan dengan ukuran otak kita?

Energi dari daging mendorong pertumbuhan otak

Ada sebuah teori. nenek moyang kita punya alat pencernaan yang besar, untuk mencerna tumbuhan. Itu perlu banyak energi. Dari daging tentu mereka bisa mendapat energi jauh lebih mudah daripada dari tumbuhan. Alat pencernaan lama-kelamaan jadi mengecil. Bersamaan dengan itu, energi yang tersisa digunakan tubuh untuk mendorong pertumbuhan otak. Dengan demikian, daging jadi faktor penting bagi evolusi otak kita.

Dari manakah energi berasal, apakah dari lemak atau dari protein di dalam daging? Pertanyaan itu sekarang sudah tidak bisa dijawab lagi. Philipp Gunz mengungkap, “Kalau soal ukuran otak, protein membuat otak kita menjadi seperti yang sekarang.” Jadi kita sebetulnya butuh banyak tambahan energi, yang datang dari daging, dan terutama dari protein serta lemak, untuk mengevolusi otak.

Jadi bagi evolusi manusia, daging mutlak dibutuhkan. Tapi lain dari tiga juta tahun lalu, sekarang kita bisa mendapatkan buah-buahan, sayuran dan padi-padian yang berkualitas jauh lebih tinggi. Energi dari daging kemungkinan tidak begitu dibutuhkan lagi oleh otak kita. (ml/inovator)