1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Berbagai Kejanggalan Kasus Munir Bisa Diungkap

2 Mei 2016

Sudah hampir 12 tahun, pejuang HAM Munir dibunuh dengan racun di atas pesawat Garuda Indonesia dalam perjalanan ke Amsterdam. Penyidikan kasus ini di bawah pemerintahan SBY penuh politisasi. Oleh Hendra Pasuhuk.

https://p.dw.com/p/1IgPd
Indonesien Aktivist Omah Munir Ehefrau Suciwati
Foto: Suciwati/Omah Munir

Penerbangan 12 jam pesawat Garuda Indonesia dengan nomor penerbangan GA-974 menuju Amsterdam menjadi perjalanan terakhir Munir. Dua jam sebelum mendarat di bandara Schipol, Munir diketahui telah meninggal dunia di kursi pesawat. Hari itu, 7 September 2004.

Dua bulan kemudian, Institut Forensik di Belanda yang melakukan penyelidikan melaporkan, Munir kemungkinan besar meninggal karena diracun dengan Arsenikum dosis tinggi. Dia dibunuh, sebelum sempat menjalani kuliah di Belanda, yang jadi maksud perjalanannya ke sana.

Deutsche Welle Hendra Pasuhuk
Editor DW Hendra PasuhukFoto: DW/H. Pasuhuk

Kabar kematian Munir mengagetkan publik, terutama keluarga dan sahabat-sahabatnya. Kabar bahwa dia dibunuh, tidak terlalu mengagetkan. Sebagai pejuang HAM yang sering berseberangan dengan posisi pemerintah, dan terutama militer, Munir sering menerima ancaman 'dihabisi'. Semua pegiat HAM di masa rezim otoriter Suharto dan tentara, tentu sadar dengan resiko itu.

Pembunuhan Munir terjadi di masa transisi, Megawati yang menjabat Presiden saat itu, kalah dalam pemilu oleh salah satu mantan menterinya, Susilo Bambang Yudhoyono. Tapi SBY baru dilantik bulan Oktober, sehingga selama satu bulan setelah kematian Munir, praktis tidak ada langkah jelas menangani kasus pembunuhannya.

Atas tuntutan keluarga korban dan desakan keras para pegiat HAM, Pemerintah dan DPR akhirnya setuju membentuk Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir, yang anggotanya terdiri dari kalangan masyarakat sipil dan berfungsi membantu penyidikan polisi.

Indonesien Pollycarpus Priyanto Ex-Pilot
Mantan pilot Pollycarpus Priyanto menjadi saksi dalam proses pengadilan Muchdi PR (14 Oktober 2008)Foto: Getty Images/AFP/A. Berry

Sejak awal terjadi tarik-menarik di pihak aparat penyidik. TPF berulangkali mendesak agar penyidikan dipercepat. Tingkat politisasi kasus ini memang sangat tinggi dan deras, terutama karena melibatkan lembaga intelijen Badan Intelijen Negara Republik Indonesia (BIN).

Penyidikan mengerucut pada satu nama: Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot Garuda Indonesia yang juga bekerja untuk BIN. Putusan pertama di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Desember 2005, mengganjar terdakwa dengan hukuman 14 tahun penjara. Dakwaannya: melakukan pembunuhan berencana. Tapi tidak ada nama terdakwa lain yang disebut.

Penyidikan tidak berhenti di sana. Polisi sempat menjadikan mantan Deputi BIN, Mayor Jendral Purnawirawan Muchdi PR. sebagai tersangka. Prosesnya juga berlarut-larut dengan berbagai intervensi dari BIN. Namun Muchdi PR akhirnya ditangkap, Juni 2008.

Munir Said Thalib indonesischer Menschenrechtsaktivist
Munir menerima penghargaan Nobel Alternatif di Stockholm (8 Desember 2000)Foto: AFP/Getty Images/H. Montgomery

Setelah beberapa bulan persidangan, mantan Komandan Kopassus TNI AD itu Desember 2008 dinyatakan tidak terbukti bersalah dan divonis bebas. Sekalipun Jaksa Penuntut Umum ketika itu yakin bahwa Muchdi PR yang merencanakan pembunuhan Munir. Jaksa menuntut dia dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.

Kuatnya campur tangan

Campur tangan dan intervensi BIN dan militer dalam penyidikan pembunuhan Munir begitu kuat, sehingga pengadilan kasus ini menjadi salah satu kasus hukum yang paling ganjil di era reformasi.

Ketika Muchdi PR disidang, saksi-saksi satu persatu mencabut kesaksiannya. Mahkamah Agung bahkan sempat membatalkan vonis terdakwa utama Pollycarpus, namun pembatalan itu kembali dibatalkan setelah dilakukan Peninjauan Kembali (PK) berdasarkan adanya bukti-bukti baru.

Sekarang, Pollycarpus sudah bebas (November 2014) karena remisi yang diterimanya. Dia sendiri merasa "sudah menjalani prosedur hukum". Muchdi PR bebas dari segala tuduhan berdasarkan 'prosedur hukum', sekaligus juga lembaga intelijen BIN yang sempat santer disebut-sebut terlibat secara institusional dalam pembunuhan Munir. Ketika itu, BIN dipimpin oleh AM Hendropriyono.

Indonesien Suciwati Munir Menschenrechtsaktivistin
Suciwati terus berupaya mendesak penuntasan kasus pembunuhann suaminyaFoto: Getty Images/AFP/M. Clarke

Hendropriyono, yang disebut-sebut dekat dengan Ketua Umum PDIP Megawati, kemudian masuk dalam tim pemenangan Jokowi-Jusuf Kalla pada pemilu preisiden yang lalu. Setelah Jokowi menang, dia menjadi anggota tim transisi bersama dengan salah satu orang kepercayaan Jokowi, Luhut B. Panjaitan.

Paling terdokumentasi

Sampai kini, kasus pembunuhan Munir, adalah salah satu kasus peradilan 'janggal' yang masih belum terungkap seluruhnya. Pada saat yang sama, inilah kasus yang paling baik terdokumentasi karena penyidikan dan proses pengadilan yang panjang.

Jika ada kemauan dan ketegasan dari otoritas negara, berbagai kejanggalan dalam kasus Munir inilah yang paling mudah diungkapkan, dari begitu banyak rangkaian kasus pelanggaran HAM besar yang terus membayangi upaya penegakan hukum di Indonesia.

Bildergalerie Gegensätzliche Landwirtschaft in der EU Flughafen Schipol
Bandara Schipol, Amsterdam, tujuan Munir dalam perjalanan terakhirnya dengan pesawat Garuda IndonesiaFoto: ROBIN UTRECHT/AFP/GettyImages

Pengungkapan kasus pembunuhan Munir bisa jadi batu ujian, sekaligus batu lompatan, jika pemerintahan Jokowi serius dengan pembenahan dan reformasi sektor hukum di Indonesia. Kenyataanya masih jauh dari situ.