1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Karbondioksida Jadi Bahan pembuatan Produk

Beina Xu
20 Januari 2023

Ada perusahaan yang membuat tekstil dari CO2 sebagai kontribusi bagi perlindungan iklim. Tapi apakah itu benar-benar menolong? Ada apa di balik teknologi hebat itu, dan apa dampaknya bagi planet kita?

https://p.dw.com/p/4FCEd
Energiekrise in Deutschland
Foto: Julian Stratenschulte/dpa/picture alliance

Coba bayangkan masa depan, di mana sabun yang kita gunakan dibuat dari polusi udara. Atau vodka dibuat dari emisi. Atau mungkin juga perhiasan yang kita kenakan? Yang jelas, itu semua mungkin akan segera terjadi. 

Dunia harus melenyapkan satu milyar ton CO2 sampai tahun 2025 untuk mencapai persetujuan iklim Paris. Itu artinya, kita harus mempercepat langkah. Perusahaan seperti Covestro yang berbasis di Jerman mengubah CO2menjadi bahan baku yang bisa digunakan untuk apa saja. 

Misalnya kasur, peralatan medis, kaos kaki, sepatu olah raga, kursi di mobil, pembungkus telefon, lapisan dinding, lapisan lantai dan lain-lain. Kedengarannya bagus. Tapi apakah ini akan punya dampak serius dalam kadar CO2 kita? Dan bagaimanakah penampakan karbon yang sudah didaurulang? 

Pengolahan CO2 sudah sejak tahun 1970-an

Upaya penyimpanan karbon sebetulnya sudah ada sejak beberapa dekade lalu. Tahun 1970-an, perusahaan minyak lah yang menggunakan emisi untuk memompa CO2 ke dalam sumur untuk memperbaiki kualitas minyak.  

Kita juga bisa mengubah gas polusi itu, dan menempatkannya di dalam tanah. Tapi mengapa tidak mendaur ulang menjadi benda lain? Teknologi ini namanya: Carbon Capture and Utilization, atau CCU. Sekarang teknologi ini sedang naik daun. Jadi apa yang bisa kita buat dengan karbon hasil daur ulang?  

Susan Fancy adalah manajer program dari Inisiatif Global CO2 di Universitas Michigan. Ia sangat antusias dengan CCU. Ia mengungkap, karbon ada di hampir semua benda.

Kalau saya pergi ke toko baju, sebagian besar kainnya sekarang dibuat dari serat sintetik, yang dasarnya adalah bahan bakar fosil. Misalnya kasur ini. Sebagian besarnya dibuat dari busa poliuretan.  

Daur Ulang CO2 Jadi Barang Multiguna

Christoph Gürtler mengembangkan produk di perusahaan Covestro, dan tahu sangat banyak tentang busa. Ia menunjukkan sebuah blok besar busa poliuretan, yang berbobot sekitar 10 sampai 20 kilogram. Jadi kita mengambil CO2, dan menggantikan sebagian bahan baku fosil yang dibutuhkan untuk membuat kasur ini.  
 
Proses ini menggantikan sekitar 20% yang berasal dari fosil dengan CO2 yang didaurulang. Di Uni Eropa, lebih dari 30 juta kasur dibuang setiap tahunnya. Jika itu semua ditumpuk, pasti tingginya sekitar 678 kali tingginya puncak tertinggi Himalaya, Mount Everest. 

Christoph Gürtler mengungkap pula, jurnalis selalu mengemukakan, walaupun ada metode ini, tapi kalau hanya ini saja, tidak mungkin bisa selamatkan dunia. “Dan saya katakan, betul. Memang bukan itu tujuannya.”

Pembuatan produk perlu banyak energi

Tetapi, membuat produk-produk ini juga bisa menggunakan banyak energi. Mengubah CO2 menjadi polimer dan bahan bakar biasanya perlu lebih banyak energi dibanding aplikasi lainnya. 

Insinyur kimia Görge Deerberg mengatakan, mereka hanya bisa melakukan ini, jika punya energi hijau. Tentang efisiensi energi dalam produksi produk dan bahan dari CO2 ia mengungkapkan pendapatnya demikian, “Saya rasa ini masalah terbesarnya. Kita tidak punya cukup energi hijau untuk produksi bahan kimia hijau serta produksi baja hijau.“

Kemungkinan kita tidak akan menyelamatkan planet dengan membeli kaus kaki yang produksinya tidak melepas CO2 sama sekali. Jumlah karbon dioksida yang terkandung di dalam bahan kimia, plastik dan serat akan terlalu kecil untuk menciptakan dampak signifikan di dalam emisi global. Jumlahnya sekitar 40 juta hingga 90 juta ton per tahun. Sekedar informasi: setiap tahunnya, kita melepas 33 miyar ton.

Jadi kita harus menggantikan karbon dalam proses-proses jauh lebih besar. Percaya atau tidak, industri yang tepat adalah semen! Semen saja, jadi penyebab bagi 8% emisi karbon dioksida di Bumi. 

Karena alasan kimia, kita tidak bisa memproduksi semen tanpa melepas CO2. Ini adalah industri yang harus melepas CO2. Begitu dijelaskan Görge Deerberg. Tapi seorang pengusaha bernama Chris Stern, berusaha membuat beton tanpa melepas CO2 dengan menukar semen dengan terak, atau ampas leburan baja. Ini produk sampingan dari industri baja. 

“Beton bagi saya topik yang sangat menarik,” kata Chris Stern, dan menjelaskan mereka berusaha sebaik mungkin agar emisi tidak terlepas sama sekali, atau hanya sedikit saja.

Menggantikan semen, bukan menghilangkan karbon

Dia mengatakan, pasti akan ada orang yang mengusahakan itu. Mengapa tidak dia saja. “Kami bukannya berusaha menghilangkan karbon dari semen, melainkan menemukan proses untuk menggantikan semen.“

Carbicrete mendapat CO2 dari pemasok gas industri, yang mengumpulkan dan memurnikan gas dari industri. Tapi sebenarnya teknologinyalah yang dijual perusahaan itu. Mereka bekerjasama dengan ilmuwan di MGill University untuk mengembangkan hak paten bagi proses yang disebut "penyembuhan CO2". 

Dalam proses ini, CO2 diinjeksikan ke sebuah ruangan, di mana CO2 berreaksi dengan limbah baja dan mengubahnya menjadi kalsium karbonat. Jadi sebenarnya berapa CO2 yang dilepas?
 
“Kami mencegah pelepasan dua kilogram emisi CO2 dengan tidak menggunakan semen, dan kami bisa mengubur sekitar satu kilogram ke dalam blok beton itu.” Demikian dijelaskan Chris Stern. Jadi total pengurangan dan penghilangan sekitar 3 kg dari setiap blok seberat 18 kg. 

Chris Stern mengungkap, jutaan ton CO2 bisa dikurangi lewat teknologi ini. Itu sudah jelas. Sekarang, sekitar 230 juta ton CO2 digunakan secara global setiap tahunnya. Tapi sejauh ini, kita hanya punya kapasistas untuk mengurangi 40 juta ton per tahun, dan 70% dari itu di Amerika bagian utara.  

Insinyur kimia Görge Deerberg mengatakan, jika kita bisa menggantikan sebagiannya dengan karbon dioksida yang didaurulang dari udara, maka kita bisa mengurangi jejak karbon dari fosil sebanyak 50%. Tapi pasaran "Carbon Capture and Utilization" atau CCU masih ibaratnya anak bayi. Jadi kita masih harus menginvestasikan dana besar bagi teknologi dan infrastrukturnya.  

Untuk itu dibutuhkan uang sangat banyak. Tapi semua orang setuju, potensinya ada. Perusahaan konsultasi McKinsey & Company memperkirakan, pasar produk-produk berbasis CO2 di tahun 2030 saja akan mencapai nilai antara 800 milyar and 1 trilyun Dolar. Dan itu akan terjadi jika perusahaan bisa memperkirakan model-model bisnis di masa depan. 

Model bisnis masa depan?

Susan Fancy mengatakan, ia menduga, kita tidak benar-benar tahu apa yang akan diiklankan, apa yang akan laku. “Maksud saya, apa sebeneranya yang bisa dijual? Jadi kita sebenarnya membicarakan lingkup waktu 20 tahun.“ Ini membawa kita ke pertanyaan lebih besar: Apa kita percaya, pasar bisa mengurus masalahnya? 

Chris Stern mengatakan, tentu saja. 100%. Orang-orang seperti dia, yang mendirikan perusahaan, akan mengurus masalah ini. Kalau tidak bagaimana lagi? Sementara Christoph Gürtler mengemukakan, biasanya orang berkata, “Kalau kamu melakukan sesuatu yang lebih bersifat berkelanjutan, siapa yang akan bayar?”  

Sedangkan Görge Deerberg mengungkap, yang membayar adalah konsumen. Produk-produk baru ini bisa dipasarkan, tapi tentu saja lebih mahal. Dan ini adalah kesenjangan yang harus ditutup regulasi pemerintah di pasaran. 
 
Kasur bisa jadi lebih mahal. Tapi mungkin itulah harga yang memang harus dibayar untuk tidur di kasur yang nyaman. “Kita tidak menyatakan bahwa kita menghadapi ancaman eksistensial, tapi terus hidup seperti sebelumnya.“ Begitu ditekankan Susan Fancy. 
 
Bisa dibilang, dampak CCU yang paling besar adalah menggantikan sumber bahan bakar fosil. Tapi kita tidak bisa menganggap sistem ini seperti wadah pendaurulang yang bisa bekerja tanpa batas. Akhirnya, perputaran CO2 lah yang harus kita perhatikan. Jadi dari mana datangnya, ke mana perginya, dan ke mana mendaratnya jika masa hidup produk itu sudah berakhir.