1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rasa Yang Tak Akan Pernah Hilang

Andibachtiar Yusuf31 Desember 2015

Kebangsaan selalu ditafsir sempit di negeri kita. Migrasi ke luar negri atau ganti paspor, langsung dituding tidak nasionalis. Padahal itu bukan cuma masalah fisik, melainkan perasaan dalam hati yang sulit luntur.

https://p.dw.com/p/1HWRw
Tempelanlage Borobudur in Mitteljava
Foto: picture-alliance/dpa

“Kebangsaan itu menempel dalam diri kita,” ujar saya suatu ketika, saat anak-anak yang usianya lebih muda di hadapan saya itu menyorakkan nama saya cukup tinggi dengan sebutan “Mewakili bangsa dan negara.” Hal yang selama ini (apalagi saat itu) sama sekali tidak pernah saya rasakan.

Hari itu sekitar tahun 2010, lima tahun sejak saya mulai dengan berani menyebut diri saya seorang filmmaker. Titel yang bisa saya sematkan karena berulang kali saya bepergian dari satu festival film ke festival film lainnya di tahun-tahun tersebut.

Apakah saya mewakili negeri saya? Mungkin saja, tapi apakah saya merasa mewakili negeri saya? Ah rasanya tidak! Saat itu hal terbaik yang negara berikan pada saya adalah membebaskan saya dari kewajiban membayar fiskal pergi keluar negeri senilai Rp 2.500.000 itu. Itupun bisa saya dapatkan jika sudah mengurus berbagai tetek bengek keterangan ke kantor bersangkutan.

Lalu apakah mereka membantu saat saya berada di negara penyelenggara? Bahkan meminjam bendera Merah Putih ukuran besar sajapun saya tidak bisa. Alasannya karena persediaan bendera di kedutaan kita di negeri bersangkutan terpakai semua.

Lalu apakah saya tidak lagi menjadi Indonesia? Juga jelas tidak! Saya tetap datang dengan label bahwa saya adalah pembuat film asal Indonesia, dengan film yang khalayak festival anggap sangat Indonesia. Saya selalu berkata “In the world where I came from….” Pada mereka agar mereka paham bahwa apa yang mereka saksikan adalah hal yang terjadi di negeri saya.

Pemahaman kebangsaan

Malam itu di Queens, New York saya beranjangsana di rumah seorang kawan baru berasal dari Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Istrinya yang seorang Amerika tulen, berkulit putih membuatkan saya bala-bala atau bakwan dalam bahasa Indonesia. Bir pun disuguhkan, musik diperdengarkan, ia pun bercerita tentang kedatangan pertamanya ke negeri Paman Sam. “Pada awalnya saya datang untuk les bahasa Inggris,” ujarnya.

Lalu lelaki berusia sebaya dengan saya tersebut berkata “New York membuat mata saya silau. Pasalnya setiap malam selalu ada konser band yang selama ini hanya bisa saya dengar rekaman audionya,” dengan antusias layaknya remaja bertemu idola. Ia lalu bercerita segala pengalaman menyaksikan kelompok musik top dunia mulai dari Judas Priest, Megadeth sampai Iron Maiden atau Trivium yang lebih kekinian.

Sebagai pencinta musik dan juga ingin jadi musisi, ikawan saya lalu meminta ibunya untuk bisa membiayai dia bersekolah musik. “Ibu bilang kalau sekolah musik beliau tak punya uang.” Maka saya putuskan untuk bertahan saja disini dan mulai menata hidup baru.

Mirip seperti yang biasa kita lihat di film-film, lelaki yang setiap jumpa selalu berpakaian ala rocker metal itu lalu kemudian bekerja serabutan apa saja dan bertahan mukim di sana bahkan saat visanya sudah mulai tak berlaku lagi. Amerika Serikat memang adalah negeri bagi para pendatang. Mereka yang memiliki kemampuan apalagi sudah bekerja bisa dengan mudah mendapatkan Kartu Hijau untuk menetap dan kemudian bisa ditingkatkan dengan status kewarganegaraan permanen.

Lalu apakah ke Indonesiannya hilang? Sepanjang malam kami bercerita tentang kondisi negeri yang praktis tak banyak berubah kecuali instalasi wifi makin banyak di kafe-kafe di Pulau Jawa. Ia juga masih bertutur tentang situasi Bandung dulu dan kini juga peta masyarakatnya. Ia sama sekali tidak tercerabut dari kebangsaannya, karena memang kebangsaan selalu menempel dalam diri.

“Saya terpaksa lepas paspor Indonesia saya bro! Kesempatan jauh lebih besar dengan paspor yang sekarang saya punya,” ujar kawan ini. Saya juga setuju pada pendapatnya, bahkan sampai 10.000%, karena pada akhirnya hidup adalah tentang apa yang bisa capai dan selalu banyak cara untuk bisa mencapainya.

Indonesien Andibachtiar Yusuf
Andibachtiar YusufFoto: Andibachtiar Yusuf

Patriotisme lawas

Deco mungkin adalah pahlawan tim nasional Portugal, demikian juga Pepe atau Eduardo da Silva yang bermain untuk Kroasia. Namun apakah mereka kemudian melupakan rasa kebangsaannya? Deco kini kembali ke tanah airnya, menghabiskan ujung karirnya dan sudah membukakan usaha bagi keluarganya. Pepe dan Edu masing-masing membuat kafe dan hotel di tanah kelahiran mereka.

Ketiga pesepakbola ini memang sama sekali tidak pernah melepaskan paspor Brasil milik mereka. Tentu karena negeri asal mereka mengenal paham universalisme, bahwa dunia tak lagi berbatas dan kesempatan juga bisa diraih dimana saja dengan mengenal status dwi-kewarganegaraan.

Berbeda dengan kawan baru saya yang terpaksa melepas paspor Indonesianya, karena negeri kita masih berfaham patriotisme masa silam, saat negeri ini baru proklamasi kemerdekaan. Dan Sukarno masa itu selalu berteriak membanggakan diri, betapa besarnya bangsa kita, walau kelaparan terjadi di banyak pelosok dan sapu bersih kulit putih terjadi dimana-mana saat nasionalisasi besar-besaran terjadi di penjuru Nusantara.

Kebangsaan tak akan pernah hilang dari diri, sejauh apapun kita pergi, rumah akan terus memanggil. Ia memang tidak selalu berbentuk kembalinya fisik ke tanah asal. Karena kepulangan bukan melulu soal fisik, tapi lebih pada masalah hati dan perasaan.

Andibachtiar Yusuf, Filmmaker & Constant Traveller

@andibachtiar