1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebebasan Kreatif dan Ancaman Ekstrimisme

27 Januari 2012

Patutkah kita "terus bermimpi"? Winternachten 2012, Festival Sastra Internasional di Den Haag, Belanda, ini mengajak untuk memikirkannya.

https://p.dw.com/p/13rtO
Aufnahmedatum: 19.01.2012 Aufnahmeort: Den Haag, Niederlande Copyright: DW/Ging Ginanjar
Foto: DW

Winternachten, festival sastra internasional yang berlangsung tiap tahun di Den Haag, Belanda, tahun 2012 ini memilih tema “Keep on Dreaming,” Bermimpilah Terus.

Direktur festival, Ton van de Langkruis menjelaskan,“Kami mencoba memperlihatkan betapa dahsyatnya kekuatan impian, daya imajinasi, fiksi, daya khayal para sastrawan.

Dengan ini pula kita menunjukkan, bahwa kita perlu bermimpi jika kita menginginkan perubahan. Sementara itu para sastrawan adalah kaum professional di bidang impian. Mereka memberikan kita alternatif. Mereka memberikan kita cara pandang berbeda. Mereka bahkan menciptakan dunia yang baru.”

Indonesien Schriftstellerin Leila Chudori Winternachten Literaturfestival Den Haag
Foto: DW

Gerakan Demokrasi Arab Sebagai Inspirasi

Gagasan dasarnya ternyata datang dari Musim Semi Arab. Van de Langkruis menjelaskan, pertengahan tahun lalu, ia mendampingi empat sastrawan dalam program Writers Tour ke Makassar, Sulawesi Selatan.

Salah satu yang ikut adalah sastrawan perempuan Mesir Abeer Soleman. Nah, setiap kali Abeer Soleman bercerita dalam diskusi, bahwa ia turut serta dalam demonstrasi di Lapangan Tahrir Kairo yang meruntuhkan diktator Hosni Mubarak , hadirin selalu bertepuk gemuruh. “Kami bertanya-tanya, kenapa? Mungkinkah mereka memimpikan Musim Semi mereka sendiri ? Mungkinkah sastrawati Mesir itu membangkitkan kepercayaan diri penonton saat itu mengenai masa depan mereka sendiri?”

Ton van de Lankruis dan para kurator Winternachten menyimpulkan, berbagai masyarakat di dunia iniagaknya dipersatukan oleh semacam mimpi bersama, sebagaimana mimpi bersama akan perubahan demokrasi yang mendorong terjadinya musim semi Arab.

Ancaman Baru Kebebasan

Tetapi Musim Semi Arab juga menunjukkan sisi lain, yang kelam. Yakni tampilnya kaum ekstrimis Islam secara terbuka, yang salah satu akibat langsungnya adalah tekanan terhadap kebebasan sipil, kebebasan keatif, dan terancamnya hak-hak perempuan. Itulah yang dibicarakan dalam sesi khusus, Hak Perempuan dan Seksualitas.

Indonesien Schriftstellerin Leila Chudori Winternachten Literaturfestival Den Haag
Leila ChudoriFoto: DW

Tampil sastrawan dan wartawan Indonesia, Leila S. Chudori; Bejan Matur, sastrawan perempuan Kurdi Tuki, dan Naema Tahir, penulis dan pegiat HAM Belanda keturunan Pakistan, serta Kader Abdolah, seorang sastrawan Iran pelarian yang mengungsi di Belanda. Mereka membicarakan bangkitnya ancaman dari kaum garis keras Islam terhadap kebebasan kreatif dan kebebasan sipil pada umumnya. Termasuk di kalangan masyarakat Islam di Eropa.

Di sesi lain, tampil pula jurnalis dan penyair Lebanon Joumana Haddad. Ia dikenal dengan apa yang disebutnya “esai otobiografis tetang pembebasan seksual perempuan Arab, berjudul “Bagaimana Saya Membunuh Sheherazade.” Sheherazade adalah tokoh utama "Dongeng 1001" malam yang terkenal itu.

Islamisme Bisa Picu Kemunduran

Wakil Indonesia, Leila S. Chudori secara khusus diminta berbicara tentang UU anti Pornografi. Direktur festival, Ton Van de Langkruis menuturkan, ini berangkat dari keheranan masyarakat barat, bahwa di satu sisi Indonesia melakukan berbagai langkah pembebasan, di sisi lain justru memberlakukan sensor melalui UU Pornografi itu.

Leila S. Chudori memaparkan, sastra, oleh sifatnya yang membutuhkan suatu tradisi membaca, termasuk yang secara praktis paling tidak disasar. “Indonesia masih belum memiliki tradisi membaca yang tinggi. Jadi memang ada bacaan yang memperlihatkan kebebasan ekspresi (sastrawan) perempuan dengan gairah seksualnya, tapi itu tidak terlau tersentuh oleh kaum militan. Jadi sejauh ini dua-duanya bisa hidup: yang militan ada di sana, yang bebas ada di sini.”

Indonesien Schriftstellerin Leila Chudori Winternachten Literaturfestival Den Haag
Foto: DW

Tetapi itu bukan berarti kebebasan mencipta baik-baik saja. Nyatanya begitu banyak kejadian pemberangusan. Seperti dirubuhkannya patung Tiga Mojang karya I Nyoman Nuarte, penghacuran patung Bima, tekanan untuk membatalkan pemutaran film “?” karya Hanung Bramantyo, dll.

Kembali Leila S. Chudori, “Kalau yang visual, seperti film, televisi, seni rupa, itu lebih cepat terlihat –karena visual. Palagi televisi, bahkan sudah “kena”. Tapi kalau buku, novel, itu kan harus dibaca. Kita bukan masyarakat membaca, barangkali itu justru blessing in disguise, berkah terselubung. Meskipun saya lebih suka orang Indonesia membaca, tapi fakta bahwa mereka tidak membaca, lebih suka nonton, akhirnya kalau buku-buku, tidak terlalu dipersoalkan. Lain dengan film, televisi, seni rupa.”

Betapapun, Leila mencemaskan, jika dibiarkan, Islamisme, atau paham keislaman ekstrim yang begitu kaku itu bisa membawa kemunduran. Bisa benar-benar mengancam dunia penciptaan Indonesia –selain mengancam hak-hak spil, khususnya hak perempuan.

Sebagian besar karya Leila S Chudori sendiri lebih berurusan pada topik-topik keseharian dengan titik berat pada penjelajahan kejiwaan dan watak para tokohnya. Sebagaimana tampak dalam "Mencari Seikat Seruni”, yang merupakan bagian dari bukunya yang paling baru, “9 dari Nadira'. Di Winternachten, Leila membacakannya dalam bahasa Indonesia. Terjemahannya diproyeksikan di layar dalam bahasa Belanda dan Inggris.

Ging Ginanjar
Editor: Edith Koesoemawiria