1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kekerasan Bersifat Jender Digunakan sebagai Instrumen Perang

21 Oktober 2010

Konflik bersenjata dengan kekerasan spesifik jender semakin sering dipakai sebagai instrumen perang. Bentuk kekerasan semacam ini menjadi tema utama Laporan Badan Khusus PBB UNFPA.

https://p.dw.com/p/Pju9
Konflik di Kongo juga membuat para perempuan menjadi korban kekerasan jenderFoto: picture-alliance/dpa

Krisis, Perdamaian, Pembangunan Kembali: Masyarakat dalam Perubahan. Itulah Judul Laporan UNFPA yang diumumkan Rabu (21/10). Dasar tema utama itu adalah 10 tahun Resolusi PBB 1325. Dengan resolusi itu, tahun 2000 Dewan Keamanan PBB untuk pertama kalinya meminta semua pihak yang terlibat konflik bersenjata, melindungi lebih baik perempuan dan anak-anak dari kekerasan seksual dan lebih banyak melibatkannya dalam perundingan perdamaian.

Wakil Badan Khusus Populasi PBB UNFPA Bettina Maas menyebutkan bahwa kekerasan spesifik jender termasuk pemerkosaan semakin sering digunakan sebagai instrumen perang dan menyebutkan contoh konkritnya, "Beberapa pekan dan bulan belakangan ini Anda mendengar laporan mengerikan dari Kongo. Sebagai contoh dari banyak kejadian lainnya. Dampaknya adalah trauma hebat sebagai dampak lebih luas dari berakhirnya konflik atau perang. Jika semua bagian suatu masyarakat mengalami trauma, ini membuat seluruh masyarakat tidak stabil dan juga akan menjadi ancaman bagi keamanan global."

Laporan negara-negara yang diselidiki di mana terjadi konflik atau bencana alam dan sedang melangkah menuju stabilisasi adalah Bosnia Herzegovina, Liberia, Uganda, Timor Leste, kawasan otonomi Palestina, Yordania dan Haiti. Untuk membina kembali kehidupan normal, dukungan dari organisasi non pemerintah dan terutama dari masyarakat internasional penting

"UNFPA membantu lebih dari 30 negara dalam menerapkan resolusi 1325. Dengan demikian UNFPA terutama memperkuat kapasitas pencegahan dan perlindungan perempuan di kawasan bersangkutan dan di tingkat global sebagai anggota kelompok aksi PBB dan jaringan internasional untuk reproduksi kesehatan dalam situasi darurat. Misalnya kami memperhatikan militer dan polisi dalam kaitan kekerasan menyangkut masalah jender," dikatakan Bettina Maas´.

United Nations Fund for Population Activities disingkat UNFPA juga mengupayakan pembentukan konsultasi psikososial bagi para korban kekerasan seksual. Contoh kegiatan itu disampaikan dalam laporan mengenai Liberia dan Pantai Gading.

Badan Khusus Kependudukan PBB itu juga mendukung organisasi perempuan dalam ambil bagian pada proses perdamaian. Seperti dijelaskan Bettina Maas, "Di sini misalnya disebutkan Kosovo dan Tajikistan. Dan kami juga mendukung akses kepada pelayanan reproduksi bagi para pengungsi dan warga yang terusir dalam negaranya, seperti yang terlihat saat ini di Haiti dan Pakistan, tapi juga di Uganda."

Neraca sementara 10 tahun setelah disahkannya resolusi 1325 menurut wakil UNFPA Maas masih beragam, karena seperti sebelumnya pemerkosaan masih menjadi bagian sehari-hari di kawasan konflik. Untuk mencegah bentuk kekerasan semacam ini diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan harus diakhiri.

Sabine Ripperger/Dyan Kostermans

Editor: Asril Ridwan