1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kematian Sebagai Pilihan

8 November 2016

Anda setuju euthanasia? Kematian, seperti halnya asal mula semesta, adalah sebuah pertanyaan yang akan selalu hadir tanpa jawaban dengan jaminan kebenaran.

https://p.dw.com/p/2SKq4
Abschied
Foto: picture alliance/ZUMA Press/D. Healey

Jerika Bolen, gadis berusia 14 tahun asal Wisconsin, Amerika Serikat, memutuskan mengakhiri hidupnya. Dengan seizin ibunya dan konsultasi intens dengan tim medis, ia memilih jalan euthanasia setelah 38 kali menjalani operasi akibat penyakit spinal muscular atrophy (SMA) yang ia derita sejak bayi.

Penyakit yang tak bisa disembuhkan ini menimbulkan sakit yang tak terperikan. Jerika hanya bisa hidup dengan bantuan ventilator setidaknya 12 jam sehari. Selama hidupnya, Jerika menahan sakit yang berkepanjangan dan menghabiskan sebagian besar waktunya di tempat tidur. Beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang ke-14, ia pun memutuskan untuk berhenti menggunakan ventilator dan membiarkan dirinya mati dengan didampingi ibu dan dua ekor anjingnya.

Penulis:  Uly Siregar
Penulis: Uly SiregarFoto: Privat

Sebagai pengidap penyakit spinal muscular, tanpa mengakhiri nyawa pun, secara medis Erika dipastikan mati dengan kondisi yang semakin memburuk. Ia akan kehilangan kemampuan mengontrol tangannya dan kemampuan bicara, dibarengi dengan rasa sakit yang luar biasa dan ia pun harus menjalani sejumlah operasi lagi. Jerika memilih untuk tidak menunggu kematian. Ia memutuskan menjemput kematian dengan prosedur euthanasia. Sebuah pilihan rasional.

Kematian adalah misteri. Dalam Kitab Wahyu, kaum Nasrani diyakinkan bahwa kematian datang seperti pencuri yang mengendap-endap di malam hari untuk mencuri barang yang paling berharga. Lebih jauh lagi dalam Kitab Pengkhotbah bab 9 ayat 12, kematian digambarkan seperti binatang yang tiba-tiba terjerat. "Karena manusia tidak mengetahui waktunya. Seperti ikan yang tertangkap dalam jala yang mencelakakan, dan seperti burung yang tertangkap dalam jerat, begitulah anak-anak manusia terjerat pada waktu yang malang, kalau hal itu menimpa mereka secara tiba-tiba.”

Merencanakan ajal

Ajal memang tak bisa ditebak, dan sepenuhnya kuasa Ilahi. Tapi bagi sebagian orang ternyata ajal bisa direncanakan, entah lewat bunuh diri atau lewat prosedur euthanasia yang melalui proses konsultasi dengan tim medis, termasuk psikolog dan psikiater. Dan Jerika tak sendiri. Ada banyak kasus euthanasia dilakukan dengan beragam alasan. Menurut survei Gallup, 7 dari 10 warga Amerika Serikat mendukung euthanasia pada pasien yang hidup dengan sakit berkepanjangan dan tak bisa lagi disembuhkan. Baru-baru ini, Casey Kasem, bintang radio legendaris Amerika Serikat, memilih mati pada usia 82 tahun dengan dikelilingi anak keluarga dan teman-temannya. Casey menderita penyakit Parkinson.

Bagi sebagian orang, Euthanasia menjadi sebuah kebutuhan, demikian pula assisted suicide (aksi dilakukan oleh pasien sendiri, dengan obat yang diberikan dokter). Meskipun kontroversial, euthanasia legal dilakukan di Belanda, Belgia, Kolombia, Luksemburg. Sementara, assisted suicide dilindungi undang-undang di Swis, Jerman, Jepang, Kanada, dan di beberapa negara bagian Amerika Serikat seperti Washington, Oregon, Vermont, Montana, dan Kalifornia. 

Kematian sebagai sebuah pilihan, apapun alasannya, mungkin tak pernah melintas di kepala kebanyakan orang. Kenyataannya di luar urusan euthanasia dan assisted suicide yang masih memiliki pembenaran, bunuh diri tanpa alasan medis pun banyak terjadi. Penyebabnya hampir mirip: keengganan melanjutkan hidup yang pedih tak terperi. Di Indonesia, kepedihan menjalani hidup mungkin bukan lewat penyakit spinal muscular atrophy seperti yang diderita Jerika, tapi lewat kemiskinan. Di Kupang, seorang siswa kelas 5 SD menggantung diri di pohon jambu air karena tak kuat menghadapi kemiskinan. Mayat bocah berusia 11 tahun ini ditemukan sang kakak yang hendak mencari kayu bakar. Di Cina, seorang anak berusia 10 tahun memilih mati dengan cara menabrakkan dirinya ke kendaraan yang ramai melintas di jalan raya. Ia tak kuat menghadapi tekanan sang ibu yang tak putus-putusnya memaksa ia belajar. Di negara-negara Barat, kasus bully sering menjadi alasan remaja bunuh diri.

Kepedihan  bagi yang ditinggalkan

Kematian memiliki beragam tafsir. Agama—dengan versinya masing-masing—meyakini adanya kehidupan setelah mati. Dalam konsep beragama, tak ada ruang yang membenarkan euthanasia, assisted suicide, atau bunuh diri. Perbuatan mengakhiri hidup sendiri menjauhkan manusia dari surga yang menjadi tujuan akhir. Sementara Ateis merasionalisasi bahwa semua bentuk kehidupan berakhir dengan kematian, dan elemen yang membentuk tubuh akan kembali ke alam semesta lantas tumbuh menjadi organisme baru. Tanpa adanya konsep kehidupan setelah mati, tak ada persoalan bagi kaum Ateis dalam memilih cara kematian, baik secara alamiah atau dengan keinginan sendiri.

Tafsir-tafsir tentang kematian berusaha menjawab rasa penasaran manusia akan misteri kematian. Sayangnya kematian, seperti halnya asal mula semesta, adalah sebuah pertanyaan yang akan selalu hadir tanpa jawaban dengan jaminan kebenaran. Yang pasti, bagi mereka yang ditinggalkan, kematian adalah kejadian menyesakkan yang menciptakan kesedihan mendalam. Meski bagi yang menjalaninya, kematian mungkin justru tak menakutkan. Seperti yang diungkap Oscar Wilde dalam The Canterville Ghost: Death must be so beautiful. To lie in the soft brown earth, with the grasses waving above one's head, and listen to silence. To have no yesterday, and no to-morrow. To forget time, to forget life, to be at peace.
 

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.