1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

110610 China Foxconn Wanderarbeiter

11 Juni 2010

Sejak mencuatnya pemberitaan tentang sejumlah pekerja yang bunuh diri, produsen elektronik Foxconn menaikkan upah minimum dua kali lipat. Tujuannya agar pekerja bebas dari lembur 100 jam sebulan.

https://p.dw.com/p/NoXa
Foto: Picture alliance/dpa

"Saya tidak percaya ada keuntungannya bagi saya. Lagi pula upah baru akan dinaikkan setelah evaluasi kinerja tiga bulanan. Saya mungkin tidak akan tahan," dikatakan seorang buruh.

Kenaikan upah tidak menyelesaikan masalah dasar. Seorang manajer muda Foxconn menerangkan, "Para pekerja tidak boleh saling bicara. Barangsiapa tetap melakukannya akan dihukum. Satu kamar tidur dihuni 8 pekerja dari berbagai divisi. Banyak yang tidak tahu siapa nama rekan sekamarnya. Penggunaan telepon genggam dilarang di banyak divisi. Padahal sekarang itu sarana terpenting untuk berkomunikasi. Tidak boleh memiliki telepon genggam membuat hidup sangat tidak nyaman, seperti terpisah dari dunia luar."

Sejumlah pekerja muda melaporkan, setelah rangkaian bunuh diri, setidaknya nada keras para mandor sudah berkurang. Makanan dan waktu beristirahat juga lebih baik. Di bangsal-bangsal kerja kini terdengar alunan musik. Foxconn mempekerjakan anak muda, mulai 16 sampai 25 tahun. Mereka yang sudah pernah bekerja di tempat lain sebelum di Foxconn, memuji perusahaan itu dari segi keamanan di tempat kerja. Namun bukan hal itu yang membuat seseorang tahan kerja di sana.

"Saya akhirnya keluar, setelah bekerja dua bulan. Terlalu menekan, kerja 10 sampai 11 jam setiap hari. Di pabrik-pabrik lain situasinya hampir mirip. Foxconn malah lebih baik dibanding yang lain. meski begitu saya memilih pulang ke keluarga di kampung. Di sini saya tidak akan pernah mengumpulkan uang cukup. Kami ini masih muda, kami juga mau menikmati kesenangan."

Pegiat hak-hak buruh Liu Kaiming menilai, pihak yang bertanggungjawab terhadap situasi ini adalah pemerintah Cina, para perusahaan dan pelanggannya di seluruh dunia. Pelanggan Foxconn antara lain Dell, Nokia dan Apple.

Kasus Foxconn mengubah situasi. Makin banyak buruh pabrik yang mogok menuntut kenaikan upah dan perbaikan kondisi kerja. Ini antara lain terjadi di pabrik Honda atau pabrik mesin jahit Jepang Brother. Foxconn mempertimbangkan untuk memindahkan sebagian produksinya ke Taiwan.

Sementara itu, Geoffrey Crothall, aktivis hak buruh di Hongkong mengatakan, "Boleh-boleh saja menyebarkan berita buruk tentang perusahaan asing atau Taiwan seperti Foxconn, tapi tidak boleh tentang perusahaan Cina karena akan merusak citra nasional. Di Henan misalnya, baru berlangsung mogok kerja 5000 buruh di perusahaan pemintalan kapas. Mereka juga menuntut perbaikan upah dan jaminan sosial."

Dan tentu saja karena pemerintah paham, bahwa persoalan kenaikan upah minimum merupakan salah satu masalah paling sensitif di Cina saat ini.

Astrid Freyeisen/Renata Permadi

Editor: Hendra Pasuhuk