1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Dwi Hartanto Berbohong?

9 Oktober 2017

Skandal kebohongan Dwi Hartanto mengejutkan Indonesia. Namun perilaku menyimpang itu bukan tidak lazim di dunia sains. Tapi kenapa mahasiswa doktoral itu melakukan kebohongan yang mudah diverifikasi?

https://p.dw.com/p/2lUrk
Gekreuzte Finger Schwur Lüge Symbolbild
Foto: Fotolia/igor

Tidak sedikit yang kecewa ketika Dwi Hartanto, mahasiswa doktoral di Technische Universiteit Deflt Belanda, diketahui berbohong mengenai prestasinya di bidang antariksa.

Kebohongan Dwi Hartanto terlucuti satu per satu setelah anggota Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4) memeriksa klaim prestasinya. Ia pun akhirnya meminta maaf. "Saya mengakui bahwa ini adalah kebohongan semata," tulisnya dalam surat klarifikasi yang diterbitkan Perhimpunan Pelajar Indonesia di Delft, Belanda.

Dia antara lain mengaku ikut mengembangkan pesawat tempur generasi ke-enam dan mengantongi sejumlah hak paten seputar teknologi kedirgantaraan. Dwi juga membual mengenai kemenangannya di kompetisi antar badan antariksa di Jerman. Dia bahkan memanipulasi cek hadiah untuk dioto dan disebarkan ke Indonesia.

Heboh ihwal kebohongan DWI Hartanto sampai-sampai memicu spekulasi bahwa ia mengidap penyakit psikologis, Mythomania. "Ketika orang merasa dirinya kurang berharga atau dihargai, lalu berbohong dengan kisah yang membesar-besarkan dirinya," kata dr Tun Kurniasih Bastaman, seorang Psikiater di Jakarta ketika ditanya Detik.com.

Kebohongan di dunia ilmu pengetahuan bukan hal yang tidak lazim. Haruko Obokata adalah contoh paling spektakuler. Ilmuwan perempuan berusia muda asal Jepang ini sempat digadang-gadang bakal mendapat penghargaan Nobel 2014 silam setelah menemukan cara efektif memogram ulang sel punca menjadi berbagai jenis jaringan tubuh.

Namun sensasi tersebut hanya bertahan selama beberapa hari. Obokata yang dianggap pahlawan perempuan di tengah dunia penelitian sel punca yang didominasi laki-laki, ketahuan memanipulasi data dan melakukan malpraktik. Setelah dipermalukan di depan publik. perempuan muda itu kehilangan pekerjaan dan reputasinya di dunia ilmu pengetahuan.

Semuanya bermula dari godaan popularitas dan uang yang dihadapi banyak ilmuwan. Menurut penelitian yang dipublikasikan jurnal ilmiah, Plos One, sebanyak 2% ilmuwan di Amerika Serikat mengaku memanipulasi data setidaknya sekali dalam karirnya dan 14% mengaku menyaksikan rekannya melakukan kebohongan, plagiarisme atau malpraktik.

Jerman, Inggris dan Perancis menghadapi masalah serupa. Sebanyak 8-10% tulisan ilmiah terbukti mengandung plagiarisme.

Namun ketika studi tersebut mengangkat isu komersialisasi dunia penelitian yang mendorong tindakan malpraktik oleh ilmuwan untuk menyesuaikan hasil studi dengan pesanan sponsor, kasus Dwi Hartanto terpaut jauh.

Harus diakui, jarang ditemui kasus seorang ilmuwan membual mengenai jabatan atau prestasi, lantaran sifatnya mudah diverifikasi. Dwi sendiri berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

rzn/yf (dari berbagai sumber)